Bertolak dari dua kasus itu sudah selayaknya TNI dan Polri menjalankan program yang konkret untuk melindungi prajurit agar tidak tertular HIV/AIDS. Jika melihat pernyataan berikut, itu artinya tidak ada program yang konkret dijalankan. “Sebanyak 1.328 anggota TNI terjangkit HIV/AIDS, dan hingga 30 Juni 2015 tercatat 343 orang di antaranya meninggal dunia, kata Wakil Komandan Lantamal IV/Tanjungpinang Kolonel Laut (P) Guntur Wahyudi.” (Wadan Lantamal: 1.328 anggota TNI terjangkit HIV/AIDS, antaranews.com, 12/1-2016).
Tingkat kematian terkait dengan penyakit HIV/AIDS di kalangan TNI itu pun yaitu 25,83 persen, tergolong tinggi. Ini bisa terjadi karena penanganan yang terlambat. Misalnya, prajurit baru terdeteksi HIV/AIDS ketika berobat dengan indikasi penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, pnemonia, TBC, malaria, dll.
Publikasi TNI ini merupakan langkah konkret untuk penanggulangan HIV/AIDS di kalangan prajurit khususnya dan pada masyarakat Indonesia umumnya karena tidak semua kasus HIV/AIDS terkait langsung dengan moral. Apakah pada lembaga, badan, perusahaan, institusi, instansi, dll. tidak ada kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pegawai dan karyawannya? Tentu saja ada. Tapi, yang berani terus terang hanya TNI.
Perilaku Berisiko
Disebutkan oleh Wahyudi “....HIV/ AIDS masih merupakan masalah penting di bidang kesehatan masyarakat, karena jumlah kasus yang dilaporkan dari tahun ke tahun masih terus meningkat.”
Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun semua penderitanya meninggal dunia.
Yang jadi persoalan adalah insiden infeksi HIV baru, tertutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, praktek pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program penanggulangan berupa intervensi yang memaksa laki-laki selalau memakai kondom jika ngeseks dengan PSK.
Disebutkan pula bahwa “ .... TNI AL dengan dukungan berbagai pihak telah melaksanakan upaya pencegahan secara intensif, pendeteksian kasus HIV/AID secara dini, dan peningkatan akses layanan perawatan.”
Sayang, dalam berita tidak disebutkan cara pencegahan yang disebut intensif itu. Kalau ‘pendeteksian kasus HIV/AID secara dini’ adalah penanggulangan di hilir. Artinya, dibiarkan dulu prajurit melakukan perilaku berisiko kemudian tertular baru dideteksi.
Ada lagi pernyataan: Guntur menjelaskan globalisasi dan perubahan gaya hidup pada sebagian masyarakat Indonesia mempengaruhi perilaku dan nilai masyarakat.
Perilaku berisiko tertular HIV, al. (1) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, kumpul kebo, dll., dan (2) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung sudah ada di negeri jauh-jauh hari sebelum ada arus globalisasi.