Di negara seluas Indonesia rupanya rasa syukur sudah diberikan lahan darat yang luas belumlah memunuhi nafsu sebagian orang untuk menguasai tanah darat. Lihat saja pantai laut dan danau jadi sasaran untuk mendapatkan tanah darat yang lebih luas walaupun harus merusak habitat.
Untuk menjadikan pantai laut menjadi tanah darat dilakukanlah penimbunan atau pengurukan yang dalam bahasa keren disebut reklamasi. Dalam KBBI disebutkan: reklamasi adalah usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna (msl dengan cara menguruk daerah rawa-rawa). Sedangkan dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Pasal 23 disebutkan: Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Yang perlu diperhatikan adalah penekanan pada frasa “memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna” sehingga setelah diuruk lahan atau daerah tsb. bisa berguna, al. untuk lahan pertanian.
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian menguruk teluk (bagian laut yang menjorok ke darat) tidak pantas dilakukan karena teluk bukanlah lahan atau daerah yang tidak berguna. Teluk menjadi rumah atau habitat bagi flora dan fauna laut. Kawasan teluk itu pun menjadi habitat hutan bakau (mangrove) yang merupakan rumah bagi berbagai macam fauna.
Ketika orang Bali yang memegang teguh adat dan agama di tengah serbuan wisatawan nusantara dan mancanegera menikmati kehidupan di tepi teluk, dalam hal ini Teluk Benoa di Kab Badung, tiba-tiba muncul peraturan presiden (Perpres) dengan memakai jargon-jargon ‘pembangunan’ mengusik kedamaian di teluk karena ada 'lampu hijau’ untuk menjadikan teluk tsb. menjadi tanah darat melalui reklamasi.
Dua Perpres tsb. yaitu: (1) Nomor 45 Tahun 2011 tanggal 17 Juli 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan yang ditandatangani oleh Presiden DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, dan (2) Nomor 51 Tahun 2014 tanggal 30 Mei 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan, ditandatangani oleh Presiden DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.
Dalam Perpres 45/2011 di Pasal 55 ayat (5) huruf b disebutkan: Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: kawasan konservasi perairan di perairan Kawasan Sanur di Kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, perairan Kawasan Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, perairan Kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, perairan Kawasan Nusa Dua di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dan perairan Kawasan Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Sayang dalam Ketentuan Umum di Pasal 1 Perpres 45/2011 tidak ada penjelasan tentang arti kawasan konservasi.
Dengan penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan melalui Perpres 45/2011 tentulan ekosistem di teluk itu pun akan terjamin. Tapi, harapan masyarakat Bali itu pupus karena melalui Perpres 51/2014 di antara Pasal 63 dan Pasal 64 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 63A. Di ayat (1) disebutan Zona Penyangga .... sebagai kawasan pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama.
Bertolak dari ayat (1) tsb., maka di ayat (2) disebutkan: Zona P ditetapkan di perairan pesisir Teluk Benoa yang berada di sebagian Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Dengan demikian kawasan perairan Teluk Benoa terbuka untuk direklamasi. Luas rekalamasi yang diizinkan 700 hektar.
Perpres 51/2014 pun mendulang protes yang sangat luas dan intens dari berbagai kalangan di Bali dan di luar Bali, bahkan dari luar negeri. Protes sangat beralasan karena reklamasi teluk itu akan merusak tatanan kehidupan di sekitar teluk. Protes pun digalang oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) yang dikabarkan sudah ada di Jakarta, Solo, Yogya, Lampung, Bandung, Jerman, dan Amerika. Bahkan, Presiden Jokowi diminta mencabut atau membatalkan Perpres tsb.