Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penanggulangan AIDS di Papua dengan “Kondom Alam”

20 Desember 2015   20:29 Diperbarui: 20 Desember 2015   20:59 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Menyambut Hari AIDS Sedunia pemerintah dikiritik lantaran tidak serius memerangi AIDS di Papua.” Ini pernyataan dalam berita “Papua Kewalahan Perangi Infeksi AIDS” (dw.com, 1/12-2015).

Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (12/5-2015) disebutkan sampai 31 Maret 2015 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua adalah 29.988 yang terdiri atas 18.147 HIV dn 11.841 AIDS. Jumlah kasus ini menempatkan Papua pada peringkat ketiga secara nasional setelah Jakarta dan Jawa Timur.

Dalam berita ini tidak jelas apa yang dimaksud dengan tidak serius. Lagi pula risiko tertular HIV sangat tergantung pada perilaku orang per orang. Informasi tentang cara-cara mencegah HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual sudah gencar dilakukan. Bahkan, di beberapa lokasi pelacuran ada penjangkuan LSM dan disediakan pula “ATM Kondom”.

Sunat vs Sirkumsisi

Celakanya, masyarakat menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran. Kondisinya kian rumit karena ada bupati dan pendeta di Papua yang melarang pemakaian kondom. Mereka membuat semboyan “Seks Yes, Kondom No”.

Karena pemakaian kondom dikait-kaitkan dengan populasi, maka ada pilihan agar tidak mengganggu populasi penduduk asli dan tidak menyebarkan HIV, yaitu: selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV adalah:

  • Hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, perselingkuhan, kawin-kontrak, dll.
  • Hubungan seksual tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK yang kasat mata yang ada di lokasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek bar, ABG, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, cewek artis online, dll.).

Belakangan Pemprov Papua ‘mengganti’ kondom dengan sunat atau sirkumsisi. Ada pendapat yang mengatakan sunat bisa menurunkan risiko, sekali lagi menurunkan risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Namun, di Papua pernyataannya justru menyesatkan yaitu sunat mencegah penularan HIV/AIDS.

Maka, kondom pun digantikan dengan sunat sebagai cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa saja terjadi laki-laki yang disunat tidak lagi memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK, karena merasa penisnya sudah ‘memakai’ kondom (Sunat Vs Kondom: Sunat Juga (Bisa) Mendorong Zina dan Pelacuran).

Kalau sunat bisa mencegah penularan HIV tentulah orang-orang yang disunat, al. pemeluk agama Islam, tidak akan (banyak) yang tertular HIV. Tapi, fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS juga banyak terdeteksi di negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.

Upaya penanggulangan, khususnya melalui hubungan seksual dengan PSK, pun tidak bisa lagi efektif karena lokasi pelacuran, seperti Tanjung ‘Turki’ Elmo di tepi Danau Sentani, Kab Jayapura, ditutup oleh pemerintah setempat. Akibatnya, praktek pelacuran yang melibatka PSK bertembaran tanpa bisa dijangkau oleh LSM yang selama ini melakukan advokasi untuk pemakaian kondom.

Yang lebih parah terjadi di Provinsi Papua Barat. Pelacur asal P Jawa dipaksa praktek di lokasi “Maruni 55”, sekitar 3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Manokwari, sedangkan pelacur asal Manado boleh praktek di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang di Manokwari. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Manokwarai banyak terdeteksi pada pegawai, karyawan dan aparat karena mereka punya untuk membeli seks dengan bayaran kamar yang mahal (‘Praktek’ Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).

Disebutkan lagi: Selain itu fasilitas kesehatan yang kecil dan dibiayai dari kantong pribadi seperti Hostel Waena tidak akan mampu meredam wabah yang sedang mendekap Papua.

Menyelamatkan Bayi

HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menular secara mudah melalui udara, air dan pergaulan sosial. Odha (Orang dengan HIV/AIDS) baru memerlukan perawatan jika sudah kena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti malaria, TBC, dll. Lagi pula sarana kesehatan pemerintah pun tersedia secara luas.

Selain itu apakah ada jaminan laki-laki dewasa Papua tidak ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di luar Papua?

Tentu saja tidak ada jaminan. Maka, bisa saja laki-laki dewasa Papua tertular HIV di luar Papua dan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di bagian lain disebutkan: "Pendekatan untuk memerangi penyebaran HIV sudah ketinggalan zaman," kata Aditya Wardhana, aktivis Koalisi Indonesia AIDS. Menurutnya upaya pemerintah selama ini terkonsentrasi pada pekerja seks komersil. Padahal AIDS telah menyebar ke hampir semua lapisan masyarakat di Papua.

Sampai kapan pun PSK tetap jadi bagian dari penanggulangan HIV/AIDS karena:

  • Laki-laki pengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV ke PSK di lokasi atau di luar lokasi pelacuran, dan
  • Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.

Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka yang bisa dilakukan sekarang hanya menyelamatkan bayi agar tidak tertular dari ibu yang mengandungnya. Tentu saja ini memerluka regulasi agar mempunyai kekuatan hukum, yaitu:

  1. Mewajibkan konseling HIV/AIDS pasangan ketika istri hamil.
  1. Mewajibkan suami tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami

       berisiko tertular HIV/AIDS.’

  1. Mewajibkan istri yang hamil tes HIV jika hasil tes suami positif.

Regulasi bisa dalam bentuk peraturan bupati atau walikota atau peraturan daerah (perda). Dengan langkah ini bayi-bayi yang akan lahir bisa diselematkan dari risiko tertular HIV. Selain itu suami-suami yang terdeteksi HIV pun bisa diajak menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Itu artinya mata rantai penyebaran HIV diputus melalui suami-suami yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka Papua tidak menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun