Sudah berulang kali polisi membongkar jaringan pelacuran melalui Internet, seperti e-mail dan media sosial (Facebook, Twitter, dll.), yang melibatkan ‘artis’, tapi seakan jargon ‘ditangkap satu muncul seribu’. Kegiatan pelacuran online pun menjadi gaya pelacuran di kalangan orang berduit.
Tapi, kemungkinan besar pelacuran ‘artis online’ ini adalah bentuk gratifikasi yaitu antara berbagai pihak yang saling berkepentingan, misalnya dalam bisnis dan proyek. Pelacur, disebut ‘cewek gratifikasi seks’, yang dijadikan alat disebutkan adalah ‘artis’ atau pesohor.
Gratifikasi Seks
Dalam bentuk yang lebih sederhana, (alm) Sartono Mukadis, psikolog UI, mengatakan di dua kota di Jawa Barat germo atau mucikari sering menawarkan cewek dengan embel-embel yang terkait dengan pihak-pihak yang lebih berkuasa di era Orde Baru. Maka, laki-laki yang pernah mengalami penindasan atau kekerasan dari pihak-pihak yang berkuasa tadi akan merasa bangga bisa, maaf, meniduri perempuan yang disebut janda kelompok anu, anak kelompok itu, dst.
Dalam bahasa psikologi sosial Sartono menyebutkan hal itu sebagai snobisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa snobisme adalah orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yangg dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu.
Sama halnya dengan orang-orang yang memanfaatkan kedudukan atau jabatannya dalam berbagai bidang yang terkait dengan pengambilan keputusan penting akan memanfaatkan posisi mereka untuk memaksa pihak yang terkait menyediakan ‘cewek gratifikasi seks’.
Tentu saja uang sebesar Rp 10 juta, Rp 20 juta, Rp 30 juta, Rp 50 juta dst. hanya untuk hubungan seksual sekali crot memerlukan perhitungan jika uang tsb. dari kantong sendiri. Tapi, kalau tanpa mengeluarkan uang bisa, maaf, meniduri ‘artis’ apalagi ‘artis’ itu pujaan tentulah imbalan yang diminta pemberi gratifikasi akan segera diberikan.
Di sisi lain artis yang ‘terjerumus’ ke kehidupan glamor (yang serba gemerlapan) dan jetset (KBBI: kelompok orang yang sangat kaya dengan kebiasaan hidup bersenang-senang dan bermewah-mewahan) menghadapi masalah besar untuk memenuhi kebutuhan agar bisa masuk ke dalam dunia glamour dan jetset. Kebutuhan itu al. aksesori, pakaian, rumah, kendaraan, perhiasan, dll. Semua ini memerlukan uang yang besar.
Prostitusi ‘artis online’ yang melibatkan artis “AA” dengan mucikari Robbie Abbas alias Obbie atau RA ditangkap polisi bulan Mei 2015 di sebuah hotel berbintang di Jakarta Selatan. RA sudah dihukum. RA mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar laki-laki, maaf, pamakai artis prostitusi online juga dihukum penjara.
Di Kota Surabaya, Jawa Timur, polisi menangkap seorang artis, berinisial AS, di hotel berbintang karena menjual diri pada September 2015. Kasus ini sudah masuk ke penuntutan di PN Surabaya.
Minggu ini polisi juga menangkap artis NM dan model PR dengan dugaan terlibat prostitusi online artis. Mereka ditangkap di sebuah hotel di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Kehidupan ‘artis’ yang terlibat prostitusi online berbeda dengan pelacur kelas atas yang memang dari awal menjadikan pelacuran dengan menjual diri sebagai pekerjaan. Di tahun 1990-an pekerja seks kelas atas ini membawa-bawa alat gesek kartu kredit. Kartu kredit diserahkan melalui celah pintu hotel yang dikunci dengan rantai sehingga hanya tangan yang bisa masuk. Calon penikmat hanya bisa menunggu di depan pintu kamar. Setelah kartu kredit digesek baru pintu dibuka.
Pelacur kelas atas itu bukan karena dorongan hidup glamor dan jetset, tapi karena mereka menjadikan pelacuran sebagai mata pencaharian. Ini pilihan karena dengan wajah yang aduhai dan tubuh nan seksi mereka bisa saja kerja di sektor-sektor di luar pelacuran. Seperti yang terungkap di buku “Dolly” (Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, Grafisi Pers, Jakarta, Mei 1985) ada PSK (pekerja seks komersial) di lokalisasi “Dolly” Kota Surabaya, Jawa Timur, memang sejak kecil dia bercita-cita jadi PSK seperti tante tetangganya yang kalau pulang kampung naik mobil bagus dan banyak uang.
Pelacuran ‘artis online’ ini pun mendorong penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS karena tidak bisa dijangkau untuk melakukan intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom. Dampak penyebaran ini dapat disimak dari jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap IMS dan HIV/AIDS. Sampai Desember 2014 dilaporkan sudah lebih 6.000 iu rumah tangga yang terdereksi mengidap HIV/AIDS.
Kehidupan glamor dan jetset yang melilit sebagian artis sehingga tidak lagi berpikir jernih merupakan perilaku yang hedonis (KBBI: hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup).
Di bawah tahun 1980-an anak-anak, remaja dan orang dewasa selalu dikenal dan dipanggil dengan nama julukan sesuai dengan keahliannya. Misalnya, si Badu yang jago memanjat kelapa. Si Oman yang lihat menggocek bola. Si Ahmad yang suaranya bagus kalau mengumandangkan azan Si Dul yang pintar aljabar, dst.
Tapi, sekarang juah berbeda. Orang dikaitkan dengan benda atau materi. Si Jabrik yang punya motor warna merah. Si Popy yang naik BMW ke kuliah, dst. Ini merupakan bentuk-bentuk hedonisme yang tidak disadari.
Hedonisme menjadi bagian kehidupan perempuan di benua Amerika dan Eropa Barat seiring dengan penemuan tambang emas. Perempuan-perempuan kaya memakai perhiasan emas dan intan berlian. Tapi, lama-lama hal itu hilang seiring dengan kemajuan ekonomi, seperti deposito dan perdagangan saham. Orang-orang kaya hanya memakai perhiasan imitasi dan uang mereka simpan di bank atau diputar di pasar saham.
Celakanya, di Indonesia hedonisme baru mulai ketika di era Orba muncul kelas menengah baru melalui pegawai negeri dan karyawan perusahaan swasta. Kelas menengan di Indonesia dikenal sebagai yuppies (young urban upwardly profesionals) atau profesional muda yang sebagian besar mendapatkan jatah karena pratek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang ditandai dengan penampilan, mobil mewah dan rumah mewah serta aksesoris mahal. Mereka dekat dengan penguasa (the ruling class) sehingga mendapat potongan kue pembangunan dalam berbagai bentuk proyek.
Di Amerika yuppies berkemang sebagai fenomena pada tahun 1960-an. Belakangan yuppies terbelah menjadi buppie (black urban professional) dan guppy (gay urban professional).
Di beberapa negara, termasuk di Asia, yuppies berkembang menjadi yippies (young idealistic upwardly profesionals). Pertanyaannya adalah: Apakah yuppies di negeri ini bisa menjelma menjadi yippies? Dengan gelagat korupsi yang merajalela maka yuppies akan terus bertahan sebagai bagian dari the ruling class/dari berbagai sumber. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Ilustrasi (Repro: brianzeiger.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H