Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2015: Insiden Penularan HIV Baru Terus-menerus Terjadi

30 November 2015   22:46 Diperbarui: 30 November 2015   22:46 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI (2015) menyebutkan estimasi (perkiraan) kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 668.489, sedangkan yang sudah terdeteksi sampai Juni 2015 adalah 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS. Itu artinya yang ditemukan baru 35 persen. Ada 434.765 lagi penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi sehingga mereka berpotensi sebagai mata rantai penyebar HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.

 

Jika dikaitkan dengan epidemiologi HIV yang erat kaitannya dengan fenomena gunung es, maka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi atau yang dilaporkan (233.724) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi (434.765) digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Pemicu Insiden HIV

Kasus yang tidak terdeteksi (akan) terus bertambah karena infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS terus terjadi, yaitu: (a) hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang bergati-ganti (seperti perselingkuhan, kawin kontrak dan kawin cerai), dan (b) hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yakni PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Persoalan besar terkait dengan kondisi (b) adalah:

Pertama, terkait dengan PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau tempat pelacuran dan jalanan mereka ‘praktek’ di sembarang tempat dan sembarang waktu karena tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa kewajiban bagi laki-laki untuk memakai kondom setiap hubungan seksual.

Kedua, terkait dengan PSK tidak langsung yaitu perempuan-perempuan yang melayani laki-laki melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang tidak bisa terdeteksi karena mereka tidak menunjukkan ciri-ciri khas atau mangkal di tempat pelacuran. Mereka itu al. cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus-plus, ABG, anak sekolah, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, prostitusi artis online, cewek gratifikasi seks, dll. Karena mereka tidak dilokalisir dan kesepakatan terjadi melalui perantara atau germo yang memakai SMS, e-mail, dan media sosial sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa kewajiban bagi laki-laki untuk memakai kondom setiap hubungan seksual.

Dua kondisi di ataslah (Lihat: Gambar 1) yang menjadi pemicu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang selanjutnya laki-laki dewasa yang tertular HIV akan menularkan HIV pula kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya (horizontal). Hal ini terjadi karena laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala dan keluhan kesehatan yang khas AIDS.

Istri-istri atau perempuan-perempuan yang jadi pasangan seks laki-laki pengidap HIV/AIDS akan menjadi ‘koban’ yaitu tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV belum berakhir karena istri-istri atau perempuan-perempuan yang tertular HIV kelak akan menularkan HIV kepada bayi yang mereka kandung (vertikal).

Celakanya, program penanggulangan HIV/AIDS secara nasional dan regional di provinsi, kabupaten dan kota tidak dilakukan di hulu, tapi dilakukan di hilir yaitu tes HIV terhadap warga, pasien dengan indikasi penyakit terkait AIDS, dan ibu hamil.

Langkah di atas menunjukkan pemerintah membiarkan laki-laki dewasa tertular HIV melalui hubungan seksual berisiko karena tidak ada program pencegahan yang konkret di hulu. Selanjutnya pembiaran pun terjadi terhadap perempuan, dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga atau istri, karena tidak ada program nyata pecegahan HIV dari suami-ke-istri.

Yang dijalankan pemerintah di tingkat kabupaten dan kota adalah anjuran tes HIV terhadap ibu hamil. Ini langkah di hilir dan hanya menyelamatkan bayi dari kemungkinan tertular HIV dari ibu yang mengandungnya. Sedangkan si ibu dibiarkan tertular HIV dari suami atau pasangannya (Lihat Gambar 2).

Langkah Sistematis

Dengan kondisi seperti sekarang ini yaitu insiden infeksi HIV baru terjadi terus pada laki-laki dewasa (hulu), maka langkah konkret yang

bisa dijalankan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui laki-laki dewasa, adala melokalisir pelacuran sehingga bisa dilakukan intervensi yang konkret berupa regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK .

Langkah ini memutus penyebaran IMS (infeksi menular seksual, penyakit-penyakit yang  ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS dari laki-laki dewasa ke PSK dan dari PSK ke laki-laki dewasa (Lihat Gambar 3).

Terkait dengan epidemi HIV/AIDS yang bisa dilakukan secara ril hanyalah menurunkan insiden penularan (infeksi) HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung yang dilokalisir. Adalah hal yang mustahil menghentikan penyebaran HIV karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi dan mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Langkah di atas, melokalisir pelacuran, mustahil dilakukan karena sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran dititutup di banyak daerah. Akibatnya, praktek pelacuran yang  melibatkan PSK langsung menjadi terselubuh dan mereka pun menjadi ‘PSK tidak langsung’. Itu artinya intervensi program penanggulangan tidak bisa dijalankan.

Maka langkah konkret yang bisa dilakukan paling tidak memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan dari laki-laki dewasa ke pasangannya adalah membuat regulasi dalam bentuk UU, Keppres, Kepmen, Perda, dst. Dengan pasal-pasal yang eksplisit, yaitu:

  • Ada pasal yang mewajibkan suami atau pasangan dari perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS.
  • Ada pasal yang mewajibkan suami atau pasangan perempuan hamil menjalani tes HIV jika hasil konseling terhadap suami atau pasangan ibu hamil mengarah ke perilaku berisiko tertular HIV

Lagi-lagi langkah ini juga hanya di hilir karena tidak ada program yang konkret untuk mencegah penularan HIV kepada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di hulu.

Dengan langkah-langkah parsial yang dilakukan di beberapa daerah, al. tes HIV terhadap ibu hamil, pasangan ibu hamil, calon pengantin, pasien dengan penyakit terkait AIDS, penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) merupakah langka di hilir dan tidak bisa menjaring pengidap HIV/AIDS yang ada di masyarakat.

Maka, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan sistematis untuk menjaring pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat. Tanpa langkah strategis dan sistematis, maka epidemi HIV/AIDS di Indonesia tinggal menunggu ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun