Laporan Kemenkes RI (2015) menyebutkan estimasi (perkiraan) kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 668.489, sedangkan yang terdeteksi sampai Juni 2015 adalah 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS. Itu artinya yang ditemukan baru 35 persen. Ada 434.765 lagi penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi sehingga mereka berpotensi sebagai mata rantai penyebar HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.
“Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok meminta semua warga Jakarta memakai kondom bila melakukan seks bebas. Cara itu diyakini mampu mengurangi penyebaran virus Human Immunodeficiency Virus (HIV).” Ini lead pada berita “Ahok ingatkan warga DKI Jakarta pakai kondom kalau ingin 'nakal'” di merdeka.com (10/11-2015).
‘Seks bebas’ adalah istilah yang rancu alias ngawur karena tidak jelas artinya. Ini adalah ‘terjemahan bebas’ dari free sex yang justru tidak ada dalam kosa kata Bahasa Inggris. Dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada laman free sex. Begitu juga di Google Translate tidak ada padanan free sex. Yang ada adalah free love yang disebut sebagai “the idea or practice of having sexual relations according to choice, without being restricted by marriage or other long-term relationships.”
Kondisi Hubungan Seksual
Nah, jelas sudah bahwa ‘seks bebas’ tidak bisa disejajarkan dengan free love karena di Indoensia ‘seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seksual dengan pelacur (baca: pekerja seks komersial/PSK).
Lebih khusus lagi ‘seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seksual dengan PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata di lokalisasi atau lokasi pelacuran. Celakanya, sekarang tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran yang merupakan bentuk regulasi.
Yang banyak sekarang adalah PSK tidak langsung yaitu pelacur di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, ABG, ayam kampus, cewek bispak (bisa pakai), cewek bisyar (habis pakai bayar), cewek artis online, cewek gratifikasi seks, dll. Jika dipakai ‘seks bebas’ yang dimaknai di Indonesia, maka melacur dengan PSK tidak langsung ini bukan ‘seks bebas’.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak laki-laki yang melacur dengan PSK tidak langsung tidak merasa berisiko karena selama ini jargon moral yang dibangun pemerintah adalah penularan HIV/AIDS melalui ‘seks bebas’.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi kalau salah salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual (kondisi hubungan seksual), bukan karena hubungan seksual dilakukan di luar nikah, zina, melacur, ‘seks bebas’, seks anal, seks oral, selingkuh, dll. (sifat hubungan seksual).
Jika satu pasangan keduanya tidak mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan sekual), maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan di luar nikah, zina, melacur, seks anal, seks oral, ‘seks bebas’, dll. (sifat hubungan seksual).
Maka, pernyataan Pak Ahok agar warga yang ‘seks bebas’ pakai kondom agar mengurangi penyebaran HIV/AIDS tidak tepat kalau yang dimaksud penularan HIV/AIDS.
Disebutkan oleh Ahok “tak dipungkiri, perilaku seksual bebas itu banyak dilakukan di masyarakat”.
Celakanya, hal tsb. selalu dibantah karena memang tidak ada lagi lokalisasi pelacuran sehingga tidak ada warga Jakarta, hal yang sama juga di daerah, yang melakukan ‘seks bebas’. Tapi, itu ‘kan retorika moral yang mempersempit arti ‘seks bebas’ sebagai zina dengan PSK langsung.
Kalau memang tidak ada lagi laki-laki yang melakukan ‘seks bebas’ tentulah tidak akan ada lagi perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Fakta berbicra lain. Ribuan ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka tertular dari suami melalui hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah.
Di bagian lain Ahok menyarankan agar seluruh warga DKI Jakarta lakukan tes HIV. Itu harus dilakukan sehingga penanganan lanjutan bisa sebelum menjadi AIDS.
Dalam hal ini Ahok jelas keliru karena:
(a) tidak semua warga Jakarta harus tes HIV karena tidak semua warga Jakarta pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Perilaku berisiko yakni: (1) melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, atau (2) melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
(b) hasil tes HIV hanya berlaku saat darah diambil untuk dites sehingga tidak ada manfaatnya karena tes HIV harus diulang-ulang.
Penanggulangan di Hulu
Dikatakan Ahok pula: "Seluruh orang Jakarta harus tahu status HIV-nya, karena HIV bisa diobati sebelum jadi AIDS.”
HIV tidak bisa disembuhkan. Sekali HIV masuk ke dalam tubuh, maka HIV selama ada di dalam darah dan terus menggandakan diri setiap hari antara 10 miliar sampai 1 trilun. HIV/AIDS memang bisa diobati, tapi tidak bisa disembuhkan. Sama halnya dengan darah tinggi dan diabetes.
Lagi pula tes HIV adalah langkah penanggulangan di hilir. Artinya, pemerintah membiarkan penduduk tertular HIV dahulu baru ditangani. Ini sama saja dengan pembiaran yang merupakan perbuatan melawan hukum.
Obat antiretroviral (ARV) bukan mengobati HIV/AIDS, tapi menekan laju pertambahan virus (HIV) di dalam darah.
Penjelasan yang tidak akurat justru merugikan karena menjadi kontra produktif terhadap upaya-upaya penanggulangan AIDS.
Ini pernyataan Ahok yang tidak masuk akal: "Jadi semua orang Indonesia harus dipaksa tanda kutip memeriksa periksa status HIV."
Pertama, Ahok menyamaratakan perilaku seksual semua warga Indonesia yaitu pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Ini menyesatkan, Pak Ahok!
Kedua, yang bisa dipaksa untuk tes, pengobatan dan karantina adalah penyakit yang termasuk sebagai wabah (penyakit mematikan yang mudah menular dalam waktu singkat menulari banyak orang dengan media air atau udara).
Nah, Pak Ahok, HIV/AIDS bukan wabah karena tidak mudah menular, tidak mematikan dan tidak bisa menginfeksi banyak orang dalam waktu yang singkat. Ini fakta.
Maka, penanggulangan HIV/AIDS yang efektif bukan dengan tes HIV, tapi dengan menjalankan program berupa menurunkan insiden infeksi HIV baru (ini jelas di hulu). Sedangkan untuk mendeteksi penduduk Jakarta dan Indonesia yang mengidap HIV/AIDS agar mata rantai penyebaran bisa diputus adalah melalui sistem.
Misalnya, konseling pasangan bagi ibu hamil. Kalau perilaku suami berisiko tertular HIV, maka lakukan tes HIV. Langkah ini memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan dari suami ke perempuan lain. Orang-orang yang menjalani tes HIV sesuai standar prosedur operasi yang baku akan berjanji menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya
Langkah lain yang paling utama adalah melakukan intervensi terhadap laki-laki agar selalu memakai kondom jika ngeseks dengan PSK. Tapi, ini hanya bisa dijalankan kalau praktek pelacuran diregulasi dengan cara mereka dilokalisir. Nah, ini hal yang mustahil karena sejak reformasi semua lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup kecuali di bebebarapa kota.
Soalnya, kalau PSK praktek seperti PSK tidak langsung maka tidak bisa diintervensi karena hubungan seksual terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, kalau Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah lain di Indonesia tidak menjalankan program penanggulangan yang efektif di hulu, itu artinya insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung, terus terjadi.
Pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV akan menyebarkan HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Kondisi ini akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H