Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Santet #25 | Kaki Kram di Tengah Malam Buta

24 Oktober 2015   10:45 Diperbarui: 15 Juni 2018   14:45 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbangun dari tidur karena ingin ke belakang. 

Tapi, astaga .... paha kiri sakit. Keras seperti batu. Digerakkan sakit. Badan dibalik pun sakit. Semua gerakan membuat paha kiri sakit bukan alang-kepalang. Rupanya paha kiri kram.

Jam di dinding menunjukkan pukul 01.05 dini hari (23/10-2015). Hasrat untuk buang air kecil sudah tak tertahankan, tapi badan tidak bisa digerakkan karena bergerak sedikit pun paha nyeri.

Kram itu tentu saja tidak masuk akal karena ketika jogging, dua kali sepakan masing-masing 90 menit, dan jalan kaki arah ke tempat kerja sama sekali tidak pernah mengalami kaki kram (otot tegang).

Yang pertama terjadi sebelum puasa. Betis kanan seperti batu. Ada apa? Rupanya betis kanan kram. Dipegang sangat keras seperti bau kali. Otot di paha pun jadi keras.

Dalam kondisi seperti itu hanya doa yang membantu dengan beberapa ayat. Setelah agak reda baru wuduk dan salat malam. Kram akan hilang, tapi menjelang subuh muncul lagi. Itulah yang terjadi ketika paha kiri kram.

“Bisa datang ke Cilegon, Pak?” Itulah jawaban Ajie Misbah, biasa dipanggil Pak Ajie atau Pak Misbah, yang membantu saya mengatasi serangan santet sejak sepuluh tahun yang lalu. Setelah kram yang kedua kali saya telepon Pak Misbah tentang sakit yang saya alami.

“Mudah-mudahan bisa. Setelah subuh.” Ini jawaban saya dengan penuh harap dan doa karena ketika menelepon itu paha kiri saya masih kram, tapi tidak lagi sekeras ketika kram pukul 01.15.

Masalah lain yang saya alami adalah hidung sering tersumbat tapi tidak sedang flu atau batuk. Kalau batuk atau bersin kepala nyeri seakan-akan kulit kepala terasa dicomot.

Selepas subuh paha kiri sudah tidak kram dan saya melangkah dengan bismillah menuju Cilegon. Perjalanan lancar. Pukul 08.30 saya sudah sampai di rumah Pak Misbah. Rasanya penat sekali karena sepanjang perjalanan saya takut paha kiri saya kram. Tapi, hal itu tidak terjadi hanya sesekali ada berdenyut dan kesemutan.

“Ya, yang biasa, Pak,” kata Pak Misbah tentang pengirim benda yang membuat paha kiri saya kram. Semula saya dan anak saya, putri, dijadikan tumbal oleh kerabat mantan ‘orang rumah’, tapi berkat bantuan Pak Misbah dan Bu Haji, ini di Padeglang, Banten, yang jadi tumbal justru ‘di pihak sana’. Dua orang kakak beradik mati beruntun. Mereka memelihara 'pesugihan' yang meminta 17 nyawa sebagai tumbal.

Nah, mereka rupanya tidak terima. Belakangan tinggal satu yang terus-menerus menyantet. Orang ini, laki-laki, berkolaborasi dengan seorang dukun perempuan, di kota kabuaten “S” di Jawa Barat.

Dukun itu semula belajar ilmu putih, tapi dia banting stir ke ilmu hitam sehingga ‘tembakannya’ rada kuat. Ini cara baru dalam perdukunan yaitu laki-laki tadi menjadikan sanggama sebagai ritual mereka.

Pak Misbah menarik benda dari paha kiri bagian dalam sedikit di atas lutut. Paku. Panjang sekitar 3 cm dengan kepala. Itulah yang menyebabkan kram. “Untung belum naik ke atas, Pak,” kata Pak Misbah. Artinya, benda itu jalan di dalam tubuh tujuannya sampai ke jantung.

Kaki kiri terasa ringan. Tidak ada bekas walaupun ketika paku ditarik ada luka. Berikutnya adalah benda yang ada di pangkal hidung yang membuat lobang hidung sering tersumbat.

“Astaga, untung belum kena ke ekor mata,” ujar Pak Misbah setelah memegang benda yang ada di pangkal hidung. Benda itu turun ke bawah berada di sisi kanan pangkal hidung mendekat ekor mata kanan sebelah kiri.

Benda ditarik.

Huh .... Sepotong kawat. Lebih kecil dari batang korek api sekitar 3 cm panjangnya. Benda ini juga jalan sehingga terkadang sumbat di hidung, di lain waktu menyengat kepala sehingga nyeri.

Sedangkan ram sebelum puasa, betis kanan, juga saya bawa ke Pas Misbah. Ada potongan bambu selebar 1 cm dengan panjang 4 cm ditarik dari betis kanan.

Pengalaman ini saya tuliskan sebagai pengalaman (pahit) dan bisa menjadi pedoman bagi yang jadi korban santet. Bagi yang tidak percaya, mohonlah tidak perlu mengejek atau mencari, tapi Saudara bersyukur tidak jadi sasaran santet.

Jadi korban santet selain sakit juga juga makan hati karena selalu diejek dan dicaci sebagian orang dengan menyebut sebagai musyrik, syrik, orang bodoh, dst. 

Pilihan hanya dua, yaitu: 

(1) Berobat ke orang pintar (bukan dukun, karena tidak memakai sesejan dan tidak pula menetapkan biaya), atau 

(2) Berobat terus secara medis yang tidak akan pernah sembuh dan terus menderita.

Apapan kata orang saya pilih langkah No 1 karena yang merasakan sakit dan menangung akibatnya saya sendiri. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun