Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Larangan Pengidap HIV/AIDS Menikah di Kabupaten Purwakarta

9 September 2015   13:46 Diperbarui: 9 September 2015   18:53 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tetapi, jika hasil tes kesehatan calon suami atau isterinya diketahui mengidap penyakit HIV/AIDS, pemerintah akan melakukan intervensi dengan menggagalkan pernikahannya.” Ini pernyataan Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Dedi Mulyadi dalam berita “Di Daerah Ini, Pengidap HIV AIDS Dilarang Menikah” (pojoksatu.id, 8/9-2015).

Kebijakan bupati ini jelas di luar nalar dan akal sehat karena sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penanggulnagan HIV/AIDS dan melawan hukum karena rukun nikah dalam Islam tidak menyaratkan ‘bebas HIV/AIDS’.

Kalau Pak Bupati ini memakai nalar, maka semua calon pengantin yang mengidap penyakit menular dan genetika (keturunan) harus diintervensi dan dibatalkan karena akan terjadi penularan penyakit pada keluarga tsb.

Pertama, mengapa hanya HIV/AIDS saja yang membatalkan pernikahan? Virus Hepatitis B, sifilis, dll, juga menular. Bahkan, dampak buruk sifilis jauh lebih besar daripada HIV/AIDS, misalnya anak lahir cacat dan buta. Bahkan, penyakit genetika, seperti thalasemia jauh lebih buruk dampaknya daripada HIV/AIDS karena penderita thalasemia harus transfusi darah secara rutin.

Maka, Bupati Purwakarta sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Kedua, HIV/AIDS adalah penyakit menular yang bisa dicegah, misalnya dari suami ke istri atau sebaliknya, dengan cara yang masuk akal dan realistis dengan teknologi kedokteran. Yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV) secara teratur sesuai anjuran dokter atau memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, penyakit genetika tidak bisa dicegah karena otomatis sebagai penyakit turunan.

Ketiga, jika calon pengantin diwajibkan tes HIV, maka ada risiko buruk yaitu hasil tes negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi sehingga hasil tes negatif) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi hasil tes positif)

Negatif palsu akan merusak keluarga tersebut, karena akan terjadi penularan HIV dari suami, yang semula hasil tesnya negatif palsu, ke istri yang selanjutnya istri menularkan ke bayi yang dikandungnya.

Positif palsu merampas hak sesorang untuk menikah dengan alasan yang tidak faktual karena tes HIV tsb. Tidak sahih.

Keempat, status HIV-negatif bukan vaksin sehingga tidak ada jaminan suami atau istri akan selamanya negatif HIV karena bisa saja dalam pernikahan mereka atau salah satu melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV/AIDS.

Di bagian lain berita disebutkan: Persyaratan ini menurut Dedi untuk mengantisipasi bayi terinfeksi HIV pada saat dilahirkan. Kasus-kasus bayi terinfeksi HIV yang terjadi selama ini karena pasangan mengidap HIV/AIDS baru ketahuan setelah mereka menikah. “Kasihan yang menjadi korban bayi.”

Ada dua kemungkinan, yaitu: (1) Suami atau istri sudah mengidap HIV/AIDS sebelum menikah, atau (2) Suami tertular setelah menikah yang selanjutnya menularkan kepada istrinya sehingga istri pun bisa pula menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Untuk itulah dianjurkan agar pemerintah provinsi, kabupaten dan kota membuat peraturan agar pasangan suami-istri konseling ke Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela dengan konseling) di rumah sakit ketika istri hamil. Jika hasil konseling menunjukkan suami berperilaku yang berisiko tertular HIV, maka suami dan istri yang hamil menjalani tes HIV. Dengan cara tes HIV pada masa hamil bayi yang dikandungan bisa diselamatkan agar tidak tertular HIV jika si ibu mengidap HIV/AIDS.

Langkah yang arif dan bijaksana adalah melakukan konseling kepada calon pengantin. Dari konseling akan diketahui perilaku seks calon pengantin tersebut. Jika salah satu atau kedua-duanya mempunyai perilaku yang berisiko tertular HIV, maka mereka dianjurkan tes HIV.

Terkait hasil tes HIV adalah hak keduanya untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahan atau tidak. Jika mereka melanjutkan pernikahan, maka yang mengidap HIV/AIDS akan didampingi agar tetap menjalan ‘seks aman’ agar tidak menulari pasangannya. Ini cara-cara yang manusiawi dan arif serta bisa dipertanggung jawabkan secara hukum dan medis. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun