Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penenggelaman Waduk Jatigede, Mengabaikan Orang-orang yang Tercerabut dari Akar Kehidupannya

5 September 2015   11:41 Diperbarui: 5 September 2015   11:44 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ketika melihat karikatur Oom Pasikom di Harian “KOMPAS” hari ini (5/9-2015), saya teringat kasus yang terjadi terhadap masyarakat di lingkungan Waduk Saguling, Kab Bandung Barat, Jawa Barat, yang digenangi tahun 1985. Waduk ini, yang terletak di ketinggian 643 m di atas permukaan laut, adalah satu dari tiga waduk di aliran Sungai Citarum, dua lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata,

Waktu itu saya ditugaskan ke waduk itu mencari-tahu mengapa banyak korban yang tenggelam di waduk untuk reportase di Tabloid “MUTIARA”.  Dengan luas permukaan air 5.600 hektar Waduk Saguling menyimpan 920 juta meter kubik air. Untuk berkunung dari satu desa ke desa lain untuk berbagai keperluan penduduk memakai perahu yang ditempel motor sebagai penggerang baling-baling.  Sejak digenangi banyak kecelakaan perahu bermotor di waduk ini yang menelan korban jiwa.

 

Mengapa hal itu bisa terjadi?

“Ya, karena pemerintah tidak melakukan rekayasa sosial yaitu perubahan dari budaya darat ke budaya air kepada masyarakat,” kata (alm) Sartono Mukadis, psikolog UI, ketika itu. Artinya, penduduk tidak dilatih untuk hidup dengan budaya air yang bertolak belakang dengan kehidupan mereka selama ini. Budaya air merupakan hal yang baru dalam kehidupan mereka sehingga memerlukan adaptasi.

Karena tidak ada sosialisasi yang komprehensif, maka perahu pun dijejali penumpang. Tidak ada pelampung. Penggerak perahu pun bukan diesel, tapi motor parut kelapa.

Rupanya, orang-orang di sana membuat analogi yang salah. Ketika waduk belum ada mereka bepergian dengan kendaraan  bermotor, seperti angkot, bus atau truk. Misalnya, Sartono memberikan contoh angkutan umum dengan bus atau truk. Ketika penumpang dan barang melebihi kapasitas yang terjadi ban kempes atau pecah, bisa juga per mobil patah. Mereka disuruh turun agar ban atau per diganti.

Nah, itulah yang mereka bayangkan ketika naik perahu. Celakanya, kalau perahu kelebihan muatan atau dihatam gelombang perahu terbalik. Penumpang jatuh ke air. Yang tidak bisa berenang akan tenggelam karena tidak ada pelampung. Karena berat jenis (BD) air tawar yang kecil membuat penumpang mudah tenggelam jika dibandingkan dengan air laut. Perahu pun berlayar tidak stabil karena memakai motor bukan mesin diesel dengan tenaga yang kuat dan konstan.

Itulah yang disayangkan Sartono waktu itu. Masyarakat tidak dilatih untuk hidup dengan budaya air. Padahal, dia yakin betul penyandang dana, kalau tidak salah JICA Jepang, menyediakan anggaran satu permil dari dana untuk biaya mendididik masyarakat beralih dari budaya darat ke budaya air.

Hal yang sama bisa terjadi pada masyarakat di sekitar Waduk Jatigede, Kab Sumedang, Jawa Barat, kelak jika mereka tidak dilatih menjalani kehidupan dengan budaya air. Soalnya, tidak ada pilihan bagi penduduk selain perahu untuk menyebarang dari satu desa ke desa lain di seputar waduk.

Tentu saja rekayasa sosial sudah dijalankan sejak terjadi ganti rugi karena masyarakat yang sudah menerima ganti rugi akan mencari tempat baru untuk melanjutkan kehidupan.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah proyek gede Waduk Jatigede menjalankan rekayasa sosial untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat yang harus hengkang dari tanah leluhurnya?

Persoalan lain adalah penduduk di waduk selama ini hidup sebagai petani, tapi ketika lahan pertanian, pekarangan dan ruma mereka digenangi air maka mereka pun harus pindah ke tempat lain yang bisa saja berbeda dengan kehidupan mereka selama ini. Sosiolog Prof Dr Hotman M. Siahaan di Unair, Surabaya, menyebut hal itu sebagai kodisi masyarakat yang tercerabut (terlepas) dari akar kehidupan mereka.

Masyarakat dipaksa meninggalkan pola hidup yang mereka jalani sejak lahir tanpa proses peralihan sehingga mereka akan gamang dalam melanjutkan kehidupan baru setelah pindah dari tempat asal.

Pola bercocok tanam di daerah leluhur mereka bisa jadi berbeda dengan daerah baru. Maka, ini pun bisa memicu konflik sosial atau mendorong urbanisasi. Celakanya, ketika mereka tiba di kota tidak ada pula yang bisa mereka lakukan. Lagi-lagi menimbulkan masalah baru. Bisa saja ada di antara mereka yang memilih jalan pintas sebagai pengemis, kriminal, dll.

Ternyata, kita adalah bangsa yang tidak mau belajar dari pengalaman. Selalu melakukan trial and error. Celakanya, korbannya adalah manusia yang menjadi bagian dari bangsa dan negara ini. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Waduk Jatigede (Repro: jabar.metrotvnews.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun