Ketiga, jika PSK yang dipulangkan itu ada yang mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus, maka mereka akan menyebarkan IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada pasangan mereka di daerah asal, seperti suami dan pacar (Gambar I).                Â
Kalau PSK yang dipulangkan itu ada yang kembali ke ‘habitat’-nya sebagai PSK di daerah asal atau di luar daerah asal, maka itu artinya penyebaran HIV/AIDS pun bisa menjangkau skala nasional.
Jika PSK yang dipulangkan tsb. diketahui status IMS dan HIV/AIDS, maka mereka bisa didampingi kelompok dukungan sebaya (KDS) di daerah asalnya sehingga mata rantai penyebaran HIV/AIDS bisa diputus.
Keempat, apakah Pemkab Jayapura, Pemkot Jayapura dan Pemprov Papua sudah melakukan antisipasi terkait dengan penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus melalui laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK yang dipulangkan itu
Jika tidak ada antisipasi itu artinya laki-laki yang tertular HIV/AIDS di ‘Turki’ akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah di masyarakat.
Maka, persoalan penyebaran HIV/AIDS tidaklah semudah menutup lokalisasi. Justru dengan menutup lokalisasi pelacuran intervensi untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari masyarakat (laki-laki ‘hidung belang’) ke PSK dan sebaliknya tidak bisa dijalankan secara efektif. Soalnya, praktek pelacuran terjadi di sembarang dan sembarang waktu tempat sehingga tidak bisa dijangkau.
Lagi pula selama ada permintaan akan PSK, maka selama itu pula akan ada PSK yang akan menggantikan PSK yang dipulangkan tsb. Maka, itu artinya lebih baik Kemensor membalik paradigma berpikir: mengajak laki-laki agar tidak ada lagi yang melacur dengan membeli seks. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H