“Remaja Ungguli Penularan HIV/AIDS.” Ini judul berita di portal news.merahputih.com (15/8-2015). Pemakaian kata ‘unggul’ dalam kaitan jumlah tidak tepat. Dalam KBBI disebutkan unggul adalah 1 a lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dsb) dp yg lain-lain; utama (terbaik, terutama):jenis ikan bibit --; pemain-pemain kita masih lebih -- dp lawan; 2 v menang: pembalap-pembalap Indonesia -- di Malaysia;
Penularan HIV/AIDS bukan perlombaan sehingga tidak ada yang (lebih) unggul. Penularan HIV/AIDS adalah insiden atau kejadian yang terjadi, al. melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara yang mengidap HIV/AIDS dengan yang mengidap dan tidak mengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom selama terjadi hubungan seksual.
Maka, yang terjadi adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi lebih banyak pada remaja. Tapi, kondisi ini pun tidak semerta menunjukkan perilaku remaja yang berisiko karena kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada remaja di kalangan penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian. Soalnya, remaja penyalahguna narkoba wajib tes HIV jika hendak menjalani rehabilitasi.
Sedangan kalangan dewasa yang tertular HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba dan hubungan seksual yang berisiko tidak diwajibkan mnjalani tes HIV. Akibatnya, banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena mereka tertular dari suami. Nah, fakta ini tidak dipahami oleh narasumber dan wartawan terkait dengan berita ini.
Disebutkan “Penyebaran HIV/AIDS tersebar luas lewat hubungan seks bebas dan penggunaan narkoba, khususnya dengan menggunakan jarum suntik. Tingginya penderita HIV/AIDS di kalangan remaja dikarenakan, rasa penasaran yang tinggi di kalangan remaja tanpa dibarengi dengan pengetahuan seks yang baik.”
‘Seks bebas’ adalah istilah yang rancu karena tidak jelas maksudnya. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina, al. melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV/AIDS dan ‘seks bebas’. Soalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (zina, melacur, seks bebas, selingkun, dll.), tapi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).
Info yang tidak akurat itulah, seks bebas, yang membuat banyak orang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, khususnya melalui hubungan seksual yang benar.
Ini pernyataan staf Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Jakarta Timur, Denny Fauzi, di PKBI, Jakarta Timur: "Karena saat mereka tumbuh dewasa secara psikologis, fisik dan juga sosialnya berubah sehingga rasa ingin tahu mereka juga begitu besar. Tapi, mereka kurang informasi pengetahuan seks yang baik."
Apakah orang dewasa, terutama yang sudah beristri, tidak lagi mempunyai ‘rasa ingin tahu’ terkait dengan narkoba dan seks?
Fakta menunjukkan banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami. Ini menunjukkan suami mereka juga melakukan seks berisiko dengan perempuan, waria, atau laki-laki.
Ada pula keterangan: Edutainment Yayasan AIDS Indonesia menyebutkan, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi di Indonesia sekitar 32.782 orang (per September 2014).
Pertanyaannya adalah: Mengapa kasus HIV/AIDS banyak tercatat di Jakarta?
Kalau saja Denny lebih arif tentulah penjelasan kepada wartawan akan lebih komprehensif karena tidak semua kasus HIV/AIDS yang tercatat di Jakarta itu adalah warga DKI Jakarta. Ini fakta.
Pertama, di awal epidemi fasilitas tes HIV hanya ada di Jakarta, dalam hal ini di Pokdisus AIDS, FKUI-RSCM Jakarta sehingga banyak orang dari luar Jakarta yang melakukan tes HIV di Jakarta. Nama mereka pun tercatat pada daftar jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Jakarta.
Kedua, di Jakarta ada beberapa lembaga, seperti LSM, yang mempunyai fasilitas tes HIV dan pendampingan serta sanggar. Kasus-kasus yang terdeteksi pada LSM itu pun masuk dalam daftar kasus Jakarta padahal mereka bukan penduduk DKI Jakarta.
Ketiga, pasien rujukan dari daerah pun ada juga yang terdeteks mengidap HIV/AIDS. Mereka ini juga tercatat dalam daftar kasus HIV/AIDS Jakarta.
Di bagian lain disebutkan pula: Denny menambahkan, penularan HIV/AIDS pada usia remaja juga diakibatkan karena gaya hidup mereka yang terlalu bebas dan tidak adanya perhatian khusus dari orangtua. Oleh sebab itu, orang tua harus lebih memperhatikan anaknya ketika memasuki usia remaja.
Penularan HIV/AIDS tidak ada kaitannya dnegan ‘gaya hidup yang terlalu bebas’ karena HIV/AIDS hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik bukan melalui pergualan sosial, termasuk yang bebas sekali pun. Remaja berisiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual karena mereka tidak menerapkan ‘seks aman’ yaitu mereka tidak memakai kondom ketika ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) langsug (PSK yang kasat mata yang ada di lokalisasi pelacuran atau jalanan) serta PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pub, cewek karaoke, cewek pemijat, cewek kafe, anak sekolah, ayam kampus, dll.).
Untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru pada remaja adalah dengan memberikan penjelasan yang konkret, yaitu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung, PSK tidak langsung atau dengan cewek teman sebaya yang sering ganti-ganti pasangan.
Jika informasi yang diberikan tidak akurat, maka itu artinya menjerumuskan remaja ke lembah kehancuran yaitu tertular IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus. *** [Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H