Terbang ke Singapura
Perjalanan hidup Cici pun tidak kalah buruknya dengan Nuraini dan Cece. Dia jadi bulan-bulanan berbagai instansi di kampungnya kalau suaminya datang. Dia menikah di sebuah KUA di Jakarta Barat dengan seorang WN Singapura. Cici memegang buku nikah.
Dengan berbagai alasan Cici pun diperas, apalagi mereka tahu suaminya warga negara asing. Terkadang mereka ketemu di Jakarta untuk menghindari perlakuan yang sering dialaminya. Kadang-kadang Cici yang terbang ke Singapura.
”Silakan lihat, Pak,” kata Cici sambil menunjukkan paspornya dengan beberapa cap imigrasi Singapura.
Ketika Cici memeriksakan kehamilannya (usia kehamilan delapan bulan tahun 1996 di puskesmas di dekat rumahnya dokter pun mengatakan bahwa perutnya yang membesar bukan karena hamil, tapi: ”Ini penyakit.”
Baca juga: Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula
Ternyata di puskesmas itu ada catatan bahwa Cici seorang pengidap HIV/AIDS.
”Bayi ini ada bapaknya. Kami menikah.” Itulah yang selalu dikatakan Cici, tapi tetap saja puskesmas tidak bersahabat.
Ketika hendak melahirkan Cici dibawa pihak puskesmas ke RSCM Jakarta karena ’statusnya’ tadi. Setelah diperiksa di RSCM Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.
Tahun 2000 ada kabar dari YPI bahwa Cici sudah berpulang. Pemakamannya pun dikerjakan oleh relawan-relawan yang dibina YPI di Karawang karena sebagian penduduk menjauhinya.
Baca juga: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat