Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menunda (Usia) Perkawinan vs Kebutuhan (Penyaluran) Seks

21 Juni 2013   04:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:40 3020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1371766806808351641

[caption id="attachment_269512" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Menggagas klinik kespro khusus remaja di puskesmas

Secara biologis dorongan untuk menyalurkan hasrat seks sudah mulai sejak seorang anak laki-laki mimpi basah dan sejak menstruasi pada anak perempuan. Mimpi basah dan menstruasi terjadi pada usia yang bervariasi, tapi biasanya sejak usia remaja.

Persoalan kemudian muncul karena perkawinan terjadi pada usia muda yaitu antara umur 15 – 19 tahun. Kondisi ini pun menjadi salah satu penyumbang besar pertambahan penduduk melalui kelahiran.

Itulah antara lain fakta yang muncul dari paparan Kepala BKKBN, Prof dr H Fasli Jalal, SpGK, PhD, dalam paparan soal kependudukan pada acara ”Kompasiana Nangkring” bersama BKKBN tentang ”Problematika Kependudukan” di FX Cafe, Jakarta (19/6-2013), yang diikuti puluhan kompasioner.

Kawin Paksa

Kelahiran pada perkawinan kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2012 mencapai 48 per 1.000 perempuan usia subur. Target untuk tahun 2014 adalah 30 kelahirian per 1.000 perempuan usia subur.

Target itu tidaklah mudah dicapai karena banyak faktor yang mendorong perkawinan pada usia muda, al. kawin paksa, tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak bekerja di sektor formal, dll.

Kawin paksa bisa terjadi karena persoalan terkait dengan ekonomi, seperti utang-piutang. Kawin paksa ini terjadi antara gadis belia dengan laki-laki berumur. Seperti yang terjadi di Semarang, Jateng, seorang laki-laki tua menikahi gadis berusia sembilan tahun.

Pernikahan dini dilakukan karena usia tidak menjadi persyaratan nikah menurut ajaran agama tertentu. Selain itu tidak perlu pula izin dari istri untuk menikah lagi bagi seorang suami. Maka, perkawinan di bawah tangan dengan berbagai bentuk pun terus terjadi.

Selain penyumbang angka kelahiran, pada perkawinan usia muda pun sering pula terjadi perceraian

Di sebuah daerah di Jawa Barat, misalnya, ada kebiasaan untuk mengawinkan anak perempuan segera setelah mens. Ini mereka lakukan untuk meringankan beban orang tua karena anak perempuan yang sudah dinikahkan akan menjadi tanggung jawab suaminya.

Pertambahan penduduk melalui kelahiran pada kelompok usia 15-19 tahun ini menjadi pemicu pertambahan penduduk secara nasional.

Tapi, pemerintah tidak masuk ke ranah latar belakang kawin muda secara sosiologis, sehingga perkawinan usia dini terus terjadi.

Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta. Padahal, jumlah penduduk yang diproyeksikan pada tahun 2010 adalah 234,2 juta. Ini artinya terjadi kelebihan bedasarkan proyeksi sebanyak 3,4 juta.

Jumlah penduduk yang terus meningkat terjadi karena laju pertambahan penduduk, terutama melalui kelahiran, terus meningkat. Jika tahun 2000 laju pertambahan penduduk 1,45, maka hasil sensus 2010 menunjukkan lalu pertambahan penduduk mencapai 1,49.

Pada rentang waktu 2003-2012 tingkat kelahiran mencapai 2,6 per perempuan usia subur. Target tahun 2014 adalah 2,1 per perempuan usia subur.

Kondisi itu menggambarkan upaya untuk menurunkan angka kelahiran, al. melalui program keluarga berencana (KB), tidak mencapai sasaran.

Hal itu terjadi karena beberapa faktor, al. tingkat kepesertaan KB yang rendah, tingkat kelahiran yang tinggi, tingkat kelahiran pada perkawinan usia muda, dll.

Pemakaian alat kontrasepsi, seperti kondom, pil, suntik, implan, spiral/IUD, vasektomi dan tubektomi pada tahun 2012 sebesar 57,9 pesen. Sedangkan sasaran yang ditetapkan pada tahun 2012 adalah 62,5 persen. Ini menunjukkan sasaran yang meleset.

Terkait dengan kelahiran melalui perkawinan usia muda ada hal yang luput dari perhatian pemerintah, dalam hal ini BKKBN, yaitu perihal upaya untuk memenuhi dorongan hasrat seksual.

Secara biologis usia 15-19 tahun memerlukan penyaluran dorongan hasrat seksual yaitu melalui hubungan seksual.

Ceramah Moral

Penyaluran dorongan hasrat seksual tidak bisa diganti (subtitusi) dengan kegiatan selain melalui hubungan seksual. Dalam kaitan ini menyalurkan dorongan hasrat seksual bisa juga dilakukan melalui kegiatan seks yang tidak melalui seks penetrasi atau seks vagina (penis ke vagina), al. onani atau masturbasi dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai ’seks swalayan’ karena bisa dilakukan sendiri.

Celakanya, pemerintah tidak pernah memberikan jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang konkret. Ceramah-ceramah terhadap remaja hanya berisiko moral yang ujung-ujungnya hanya berisi larangan: ini tidak boleh, itu tidak boleh, ini dosa, dst.

Sementara dorongan hasrat seksual tidak bisa ditunda-tunda, maka ada remaja yang memilih untuk menikah pada usia muda. Ini juga tidak lepas dari jargon moral: daripada berzina.

Celakanya, kawin usia muda tidak otomatis menghentikan kebiasaan sebagian laki-laki untuk berzina. Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki beristri lebih dari satu dengan alasan agar tidak zina. Tetap saja tidak ada jaminan bahwa laki-laki yang beristri lebih dari satu tidak akan berzina (lagi).

Jika ada anjuran untuk menunda usia perkawinan, maka diperlukan subsitusi penyaluran hasrat seksual, terutama pada laki-laki, yang bisa memenuhi kebutuhan seks secara biologis.

Jika remaja laki-laki menunda perkawinan dan memilih menyalurkan dorongan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka ada risiko tertular infeksi menular seksual/IMS, seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, dan HIV/AIDS.

Risiko itu sangat besar karena ada penolakan terhadap sosialisasi pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko, al. hubungan seksual dengan PSK.

Remaja yang tertular IMS sering pula mengobati diri sendiri yaitu dengan membeli obat di penjual obat kaki lima. Akibatnya, penyakit penyembuhan IMS tidak tuntas karena hanya menghilangkan simptom (gejala) sehingga ada risiko penyakit itu tetap ada dalam tubuh mereka.

Ketika mereka menikah kelak, maka ada risiko terhadap janin yang dikandung istri. Sifilis, misalnya, bisa mengakibatkan bayi lahir sumbing atau bagian-bagian tubuh, seperti tangan dan kaki, yang mengecil.

Remaja-remaja itu ’takut’ berobat ke rumah sakit atau puskesmas karena ada ketentuan yang mengharuskan mereka bersama orang tua karena mereka belum dewasa.

Tentu saja merupakan hal yang naif bagi remaja putra untuk memberitahu orang tuanya bahwa dia mengidap IMS. Selain itu tenaga medis pun selalu menceramahi remaja dengan jargon-jargon moral ketika berobat dengan indikasi IMS.

Sudah saatnya pemerintah menyediakan klinik khusus untuk remaja, terutama terkait dengan kesehatan reproduksi, di puskesmas. Dengan catatan tenaga medis dilatih agar bisa berbicara dengan kosa kata remaja dan tidak pada posisi memberikan ’khotbah’ moral.***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun