Cercaan pulalah yang akhirnya memaksanya dan keluarganya pidah dari Cibuaya ke salah satu kota di Jawa Barat untuk mencari sesuap nasi. Kartam pindah sejak enam bulan yang lalu.
Kartam meninggalkan utang sekitar Rp 500.000 kepada beberapa orang di kampugnnya dan di kampung istrinya di Indramayu, masih di Jabar. Itu, semula Rp 600.000, mereka pakai untuk keperluan mengurus keberangkatan Mh ke Arab sebagai TKI.
Mh sendiri Cuma enam bulan di Arab sehingga uang yang dibawanya, sekitar Rp 500.000, tidak cukup untuk membayar utang. Utang kian banyak karena uang itu dipakai juga untuk menyambung hidup karena Kartam dan istrinya tiak bisa bekerja lagi di kampungnya.
Seorang pemuda yang bekerja sebagai anak buah kapal atau pelaut, sebut saja Andi, berumur 30-an tahun, mengakut tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi, karena orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya sejak ia mengaku bahwa dirinya telah tertular virus HIV/AIDS. Hal itu diketahuinya ketika ia menerima kiriman sebuah surat kabar yang memuat iklan pemutusan hubungan itu. Andi masih beruntung karena dalam iklan itu tidak disebutkan alasan pemutusan hubungan tsb. karena tertular HIV/AIDS.
Rupanya, orang tua dan adik-adik Andi marah besar ketika mereka menerima kabar itu. Bahkan, ayahnya seakan-akan menyesali diri mengapa dulu ia memasukkan anaknya ke AIP (Akadimi Ilmu Pelayaran) Jakarta. ”Akibatnya kamu sekarang terkena penyakit kutukan setan itu karena berlayar keliling dunia dengan kapal asing,” kata Andi menirukan bentakan ayahnya.
Andi sendiri mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV/AIDS ketika diadakan pemeriksaan darah rutin di rumah sakit perusahaannya di Singapura. Andi pun mengaku ketika pertama kali ia menerima kabar tentang dirinya ia marah besar. Semua barang-barang di kapal dibuangnya. Hanya satu stel pakaian dan baju kerja di kamar mesin yang disisakannya. Teman-temannya berusaha mengorek alsannya mengapa ia depresi, tapi ia menutupinya karena takut dikucilkan teman-temannya.
Tapi, kini Andi mengaku sudah bisa menerima kenyataan. Ini berkat konseling yang diterimanya di sebuah klinik AIDS di Singapura. Ia selalu menyemapatkan diri ke sana jiak sedang berlabuh di ’Kota Singa’ itu. ”Yah, kalau kondisi saya kuat virus HIV/AIDS itu baru memasuki stadium AIDS 10 atau 15 tahun yang akan datang,” katanya dengan nada yakin.
Sekarang Andi sudah menyisishkan sebagian penghasilannya (gaji bersih yang diterimanya 1.500 dolar AS/bulan) untuk menyumbang sebuah gereja di Indonesia bagian Timur yang juga mempunyai rumah penampungan orang-orang jompo dan sakit. Rupanya, Andi membayangkan bawah kelak dia akan menjadi salah seorang penghuninya.
Andi merasa ia tertular virus HIV/AIDS antara Indonesia dan Muangthai. “Waktu itu saya lagi getol-getolnya plesiran di Bangkok menikmati gadis-gadis yang cantik dan seksi-seksi,” kata Andi dengan nada parau. Sekarang ia semakin percaya diri karena ia menganggap dirinya sama saja dengan orang yang mengidap kanker ganas yang juga tidak bisa sambuh total.
Seorang ayah di Jakarta, sebut saja Pak Ahmad, mengaku kini sering bertengkar dan saling menyalahkan dengan istrinya sejak salah soerang anaknya dinyatakan seropositif.
“Rasanya seperti mimpi buruk, selalu membayangi pikiran saya di mana saja saya berada,” kata Ahmad seakan menyesali dirinya. Sekarang Ahmad berusaha menutupinya agar tidak diketaui sanak famili, rekan-rekan anaknya, dan relasi bisnisnya.