Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money

Epidemi HIV di Irian Jaya*

28 November 2013   22:39 Diperbarui: 7 Juni 2019   17:15 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika membaca berita berjudul "Awas, Ancaman HIV/AIDS di Irian Jaya" (Kompas, 29/8-2000), khususnya tentang pernyataan: "Penyakit ini pertama kali diketahui di Merauke dari empat nelayan Thailand tahun 1994" saya langsung teringat pada salah satu sesi di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Manila (Oktober 1997). Ketika itu dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja putri Thailand (Kanokwan Tharawan, waktu itu berusia 17 tahun, staff associate Population Council, South East Asia-Thailand Office) karena menyebutkan penularan HIV di Merauke terjadi karena kehadiran nelayan Thailand.

Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu diperhitungkan. Namun, dr. Abednego tetap pada pendiriannya karena sub-tipe virus di Merauke E, sub-tipe virus yang ada di Thailand. Gadis ini tidak puas atas jawaban tadi. Di luar ruangan pun gadis itu terus marah, "Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, 'kan, datang ke sana," katanya dengan nada tinggi ketika diwawancarai penulis. Dia sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi Merauke, sebaliknya penduduk Merauke pun bepergian pula ke luar daerahnya.

Maka, amat wajar pulalah mengapa seorang peserta kongres dari Kamboja marah besar, pada sesi lain di kongres itu, ketika dia mengetahui tentara Indonesia yang dikirim sebagai pasukan perdamaian ke negaranya tidak menjalani tes HIV dahulu, "Jangan-jangan tentara Anda yang menulari penduduk kami." Ia pun tambah berang karena dalam sesi itu terungkap salah satu tentara yang dikirim ke sana rupanya HIV-positif.

Lagi pula kalau wartawan yang menulis berita tadi lebih jeli tentulah perlu kehati-hatian mengaitkan epidemi HIV di Merauke dengan kehadiran nelayan Thailand karena ada beberapa hal yang terkait dengan masalah tesebut.

Pertama, penduduk Irian Jaya juga bepergian ke luar daerah.

Kedua, penduduk dari daerah lain di Indonesia pun datang ke Irian Jaya.

Ketiga, berdasarkan data kasus kumulatif yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes, ternyata sampai dengan 31 Maret 1995 sudah ada tiga kasus AIDS di Irian Jaya.

Andaikan ada penularan dari nelayan Thailand pada Januari 1994. Apakah dalam kurun waktu 15 bulan infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS?

Bahkan, juga berdasarkan data Ditjen PPM&PLP sampai dengan 30 November 1995 dari delapan kasus AIDS di Irian Jaya lima di antaranya meninggal dunia. Ini, lagi-lagi kita berandai-andai, jika memang ada penularan pada Januari 1994 berarti dalam kurun waktu 23 bulan infeksi HIV sudah membawa orang ke liang lahat.

Dengan berpatokan pada fakta di atas apakah kita tetap mengaitkan kehadiran nelayan Thailand di sana? Mengapa kita tidak memperhitungkan kehadiran penduduk dari daerah lain di sana? Apakah kita mengabaikan mobilitas penduduk Irian Jaya?

Jika kita tetap mengait-ngaitkan epidemi HIV dengan nelayan Thailand (yang sudah pulang ke negaranya) akan berdampak buruk karena penduduk pun akan lengah. Mereka tidak akan melindungi dirinya secara aktif karena mereka menganggap penularan HIV hanya dari nelayan Thailand.

Celakanya, nelayan Thailand memang tidak ada lagi di sana sehingga penduduk pun merasa aman, tetapi epidemi HIV sudah ada di sana. Inilah yang tidak mereka sadari. Kondisi itu tentu dapat memicu penyebaran HIV pada penduduk lokal. Ini terbukti dari angka-angka laporan kasus kumulatif HIV/AIDS pada tahun-tahun berikutnya.

Per April 1995 tercatat 65 kasus HIV dan tiga AIDS (50 kasus HIV terdeteksi pada nelayan Thailand) sehingga 15 kasus pada penduduk lokal. Pada 30 November 1995 sudah tercatat 38 kasus HIV (angka pada laporan 88, tetapi 50 nelayan Thailand)dan delapan AIDS. Per 30 November 1999 tercatat 128 HIV dan 90 AIDS serta 79 kematian. Per 30 Juni 2000 tercatat 166 HIV dan 101 AIDS serta 82 kamatian.

Mobilitas penduduk Indonesia selalu diabaikan dalam masalah HIV. Kita selalu melihat orang luar yang akan menularkan HIV di Indonesia. Simaklah pernyataan Chris Triwinasis, ketua panitia Hari AIDS 1 Desember 1999. tentang kasus HIV di Batam (Riau) ini: "Turis asal Singapura, khususnya yang berperilaku sering mencari wanita penghibur di Pulau Batam, potensial menularkan maupun tertular HIV ....." (Kompas, 1/12-1999). Ketua panitia tadi membuktikannya dengan peningkatan kasus HIV/AIDS di Batam. Tetapi, mengapa tidak diperhitungkan penduduk Batam yang pergi ke luar daerah dan luar negeri serta kedatangan penduduk dari daerah lain?

Pernyataan dr. Krisman Hutajulu, Kasubdin Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular pada Dinas Kesehatan Irian Jaya tentang HIV/AIDS di Irian Jaya: "dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, Irian Jaya paling berpeluang diserang virus HIV/AIDS" jelas tidak akurat karena sebagai virus, HIV tidak bisa menyerang (penduduk) Irja.

Dalam berita itu tidak dijelaskan mengapa dan bagaimana HIV akan menyerang Irian Jaya. Ini penting agar penduduk bisa melindungi diri. HIV sendiri sebagai virus tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial. Yang bisa terjadi adalah epidemi HIV akan menjadi masalah besar di Irian Jaya jika upaya-upaya untuk mencegah penularan HIV tidak ditingkatkan.

Kasus Irian Jaya merupakan contoh nyata bagaimana kita menanggapi epidemi HIV dengan menyalahkan orang lain dan menyangkal epidemi HIV di komunitas kita hanya karena kita menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya, beragama, dan lain-lain. Padahal, bangsa mana, sih, di muka bumi ini, katakanlah bangsa yang prevalensi HIV-nya tinggi, yang tidak berbudaya dan beragama? ***

Catatan: Nama Irian Jaya dipakai sesuai dengan berita Kompas. Redaksi.

* Dimuat pertama kali di Newsletter “HindarAIDS” No. 54, 2 Oktober 2000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun