Celakanya, nelayan Thailand memang tidak ada lagi di sana sehingga penduduk pun merasa aman, tetapi epidemi HIV sudah ada di sana. Inilah yang tidak mereka sadari. Kondisi itu tentu dapat memicu penyebaran HIV pada penduduk lokal. Ini terbukti dari angka-angka laporan kasus kumulatif HIV/AIDS pada tahun-tahun berikutnya.
Per April 1995 tercatat 65 kasus HIV dan tiga AIDS (50 kasus HIV terdeteksi pada nelayan Thailand) sehingga 15 kasus pada penduduk lokal. Pada 30 November 1995 sudah tercatat 38 kasus HIV (angka pada laporan 88, tetapi 50 nelayan Thailand)dan delapan AIDS. Per 30 November 1999 tercatat 128 HIV dan 90 AIDS serta 79 kematian. Per 30 Juni 2000 tercatat 166 HIV dan 101 AIDS serta 82 kamatian.
Mobilitas penduduk Indonesia selalu diabaikan dalam masalah HIV. Kita selalu melihat orang luar yang akan menularkan HIV di Indonesia. Simaklah pernyataan Chris Triwinasis, ketua panitia Hari AIDS 1 Desember 1999. tentang kasus HIV di Batam (Riau) ini: "Turis asal Singapura, khususnya yang berperilaku sering mencari wanita penghibur di Pulau Batam, potensial menularkan maupun tertular HIV ....." (Kompas, 1/12-1999). Ketua panitia tadi membuktikannya dengan peningkatan kasus HIV/AIDS di Batam. Tetapi, mengapa tidak diperhitungkan penduduk Batam yang pergi ke luar daerah dan luar negeri serta kedatangan penduduk dari daerah lain?
Pernyataan dr. Krisman Hutajulu, Kasubdin Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular pada Dinas Kesehatan Irian Jaya tentang HIV/AIDS di Irian Jaya: "dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, Irian Jaya paling berpeluang diserang virus HIV/AIDS" jelas tidak akurat karena sebagai virus, HIV tidak bisa menyerang (penduduk) Irja.
Dalam berita itu tidak dijelaskan mengapa dan bagaimana HIV akan menyerang Irian Jaya. Ini penting agar penduduk bisa melindungi diri. HIV sendiri sebagai virus tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial. Yang bisa terjadi adalah epidemi HIV akan menjadi masalah besar di Irian Jaya jika upaya-upaya untuk mencegah penularan HIV tidak ditingkatkan.
Kasus Irian Jaya merupakan contoh nyata bagaimana kita menanggapi epidemi HIV dengan menyalahkan orang lain dan menyangkal epidemi HIV di komunitas kita hanya karena kita menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya, beragama, dan lain-lain. Padahal, bangsa mana, sih, di muka bumi ini, katakanlah bangsa yang prevalensi HIV-nya tinggi, yang tidak berbudaya dan beragama? ***
Catatan: Nama Irian Jaya dipakai sesuai dengan berita Kompas. Redaksi.
* Dimuat pertama kali di Newsletter “HindarAIDS” No. 54, 2 Oktober 2000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H