Pernyataannya adalah: Mengapa tidak semua laki-laki melakukan hal yang sama pada kondisi yang sama?
Tahun 1990-an seorang anak muda di Bogor, Jabar, memerkosa seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Bogor. Menurut polisi pelaku mengaku terangsang setelah menonton film di sebuah bioskop di Tajur, Bogor.
Waktu itu penulis bekerja di Tabloid “MUTIARA” ditugaskan untuk membuat reportase tentang kasus tsb. Wawancara dengan psikolog waktu itu, Yulia Singgih Gunarsa, menunjukkan alasan pelaku hanya pembenaran karena, “Kalau benar film itu mendorong hasrat seksual tentulah semua penonton ramai-ramai memerkosa,” kata Yulia waktu itu.
Kenyataannya yang terbukti melakukan perkosaan hanya pelaku. Dan, pemeriksaan polisi terhadap pelaku menunjukkan pelaku sudah lama mengincar cewek itu. Maka, filmlah yang dijadikannya alasan untuk melampiaskan hasratnya. Itu artinya persoalan ada pada diri pelaku bukan film.
Untuk itulah diharapkan polisi tidak terlalu cepat, bahkan tidak perlu, menjelaskan alasan pelaku-pelaku kejahatan kepada wartawan karena polisi berhak tidak menjawab pertanyaan wartawaan. Soalnya, banyak alas an tsb. Hanya pembenar yang bias ditiru orang lain. Dengan menolak menjawab pertanyaan wartawan juga sudah merupakan jawaban.
Untuk itulah diharapkan masyarakat juga membantu polisi dengan melaporkan kematian anak-anak yang tidak wajar, di luar kecelakaan, kepada polisi agar polisi membawa korban ke rumah sakit untuk diotopsi.
Rumah sakit pun, terutama dokter praktek dan puskesmas, lebih awa menangani kasus-kasus yang khas pada anak-anak. Soalnya, gadis cilik yang meninggal sudah berkali-kali berobat ke puskesmas tapi tidak menemukan penyebab penyakit.
Setelah kejang-kejang dibawa ke rumah sakit barulah terungkap penyebab penyakitnya yaitu infeksi pada vagina.
Langkah RS Aliya yang melaporkan kasus kematian pasien AA ke polisi merupakan langkah yang tepat karena ada penyebab kematian yang mencurigakan. Sedangkan puskesmas dan poliklinik yang menangani RI perlu disidik dari aspek pelayanan medis dan kriminal karena mereka lalai melakukan pemeriksaan yang komphrensif terhadap pasien yang sudah berulang-ulang diperiksa dengan penyakit yang sama.
Bertolak dari kasus kematian gadis cilik RI dan bayi AA, maka jika ada anak-anak di bawah usia 17 tahun meninggal dunia dengan penyakit yang tidak wajar, maka perlu dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap pasien (dari berbagai sumber).***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H