Dari Sangatta, ibu kota Kab Kutai Timur (Kutim), Prov Kalimantan Timur (Kaltim) dikabarkan, seperti disampaikan oleh Ketua Pengadilan (PN) Sangata, kasus seksual dan kasus seks bebas di Kota Sangatta, khususnya Kutai Timur, merupakan yang tertinggi yakni mencapai 30 persen dari seluruh kasus yang ditangani, sekaligus mencatat kasus tertinggi dibanding daerah lain (Kasus Seksual Kutai Timur Masih Tinggi, kaltim.antaranews.com, 28/7-2012).
Dikabarkan bahwa pelaku umumnya kalangan dewasa dan sebagian oleh remaja. Bentuk kekerasan seksual yang terjadi, misalnya meminta atau menekan seorang anak perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan seks, menunjukkan alat kelamin untuk dilihat, melakukan hubungan seksual atau kontak fisik secara langsung (www.sapos.co.id, 26/5-2012)
Sayang, dalam beberapa berita terkait dengan kasus tsb. sama sekali tidak ada penjelasan yang masuk akal penyebab kasus pencabulan, pelecehan sekual, perkosaan, perselingkuhan dan perzinaan tinggi di Kutim.
Lihat saja pernyataan Kapolres Kutai Timur, AKBP Budi Santoso, ini:"Saya tidak mengerti mengapa kasus pencabulan di Sangatta sangat tinggi. Apakah karena libido anak-anak tinggi karena makan gizi tinggi, ataui akibat apa. Tapi saya sangat prihatin."
Sangatta adalah ibu kota Kabupaten Kutai Timur (Kutim) yang terletak di utara Kota Samarinda dan Kota Bontang.
Di daerah lain juga banyak yang memakan makanan bergizi dan libido tinggi, tapi tidak banyak terjadi kasus-kasus asusila. Lagi pula tidak ada hak seseorang yang libidonya tinggi melakukan tindakan melawan hukum dengan memerkosa atau mencabuli perempuan, apalagi remaja di bawah umur.
Terkait dengan kasus kekerasan seksual itu, Dinas Pendidikan (Disdik) Kutim menyampaikan data bahwa pada ujian nasional tingkat SMP dan SMA ternyata ada 93 yang tidak mengikuti ujian nasional yaitu 31 siswi SMA dan 62 siswi SMP (tribunkaltim.co.id, 25/7-2012).
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Timur, Iman Hidayat, siswi SLTA yang tidak mengikuti ujian karena 19 siswa menikah dini. Sayang, Iman tidak menjelaskan dan wartawan pun tidak bertanya: Dengan siapa 19 siswi itu menikah?
Data itu perlu untuk memberikan gambaran ril tentang kasus tsb. Al. untuk menunjukkan laki-laki mana yang menghamili siswi itu: laki-laki dewasa atau siswa teman sebaya mereka. Jika yang menghamili adalah siswa teman sekolah, tapi siswa-siswa itu tetap ikut ujian tentulah terjadi perlakuan yang berbeda atau diskriminasi. Sayang, wartawan tidak melihat aspek ini sebagai materi berita sehingga tidak mereka eksplorasi lebih dalam lagi.
Sedangkan yang lain yaitu 12 siswi SMA dan 62 siswi SMP tidak penjelasan alasan mereka tidak mengikuti ujian nasional.
Dikabarkan sebagian besar kasus tsb. justru terjadi di luar kota Sangata yaitu di Kec Sangata Utata dan Sangata Selatan.
Kesimpulan sementara, seperti disebutkan dalam berita di tribunkaltim.co.id, 25/7-2012: Kasus-kasus tsb. terjadi karena pengaruh kemajuan ekonomi, kepemilikan peralatan teknologi informasi yang berhubungan dengan internet (yang misalnya disalahgunakan untuk melihat video porno), juga kurangnya kontrol orangtua terhadap interaksi anaknya dengan internet.
Kasus-kasus seksual di Kutim ternyata tidak hanya menyangkut remaja, tapi juga kalangan dewasa. Kasus pada kalangan remaja dilanjutkan ke proses hukum, sedangkan kasus di kalangan dewasa berakhir dengan damai karena sebagian besar terkait dengan perselingkuhan (www.sapos.co.id, 26/5-2012).
Jika dikaitkan dengan kasus yang ditemukan Disdik terkait dengan 19 siswi SMA tadi ternyata mereka tinggal di pedesaan. Tentulah jaringan internet dan sinyal ke pedesaan tidak sebaik di perkotaan.
Bagi Suparman,kasus seksual dan pemerkosaan di Kutim sangat disesalkan karena sebagian besar dari mereka yang terlibat kasus seksual rata-rata masih di bawah umur. Tapi, ironis juga karena banyak yang melakukannya atas dasar suka sama suka. Bermula dari pacaran yang akhirnya melakukan hubungan sekual. Sedangkan kasus terkait dengan pemaksaan persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan suka sama suka.
Sayang, Suparman tidak memberikan data dan wartawan pun tidak bertanya tentang usia laki-laki yang menjalin asmara dengan remaja putri yang terlibat kasus seksual tsb.
Ada kasus yang menimpa seorang anak perempuan berumur enam tahun yang dipaksa melakukan hubungan seksual oleh seorang karyawan perusahaan yang sedang mabuk. Kejadian dilakukan di rumah korban, ketika keluarga korban sedang tidak ada dirumah. Ada pula dua kasus yang melibatkan anak-anak sekolah. Sayang, tidak ada pula penjelasan siapa yang usia sekolah: laki-laki atau perempuan.
Polres Kutim menjerat tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak di bawah umur dengan pasal 81 ayat (2) Jo pasal 53 KUHP, subsider pasal 82 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan minimal 5 tahun penjara. Celakanya, seperti dituturkan Briptu Milka Elvira, penyidik Polres Kutim, karena masih di bawah umur banyak korban yang tertekan dalam membuat laporan pengaduan, sehingga dibutuhkan advokasi serius dari P2TPA (Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak).
Di Kutim dikabarkan ada lokalisasi pelacuran di Kampung Kajang (kaltim.antaranews.com, 2/5-2012) dan di Desa Sepaso, Kec Bengalon, sekitar 50 kilometer dari Kota Sangatta (metrotvnews.com, 1/4-2012). Di Kutim ada lokalisasi pelacuran sebagai tempat untuk menyalurkan dorongan hasrat seksual, tapi megnapa banyak laki-laki yang memilih melakukan hubungan seksual dengan kekerasan dan bujuk raya dengan remaja putri di bawah umur?
Pertanyaan di atas sangat menggelitik, saya dalam beberapa berita hal itu tidak muncul. Bisa saja tarif pekerja seks komersial (PSK) di dua lokalisasi itu mahal sehingga banyak yang memilih menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara kekerasan dan bujuk rayu agar tidak mengelurkan uang.
Masalah lain yang luput dari perhatian terkait dengan kasus seks si Kutim ini adalah penyebaran HIV/AIDS. Kalau pelaku kekerasan seksual laki-laki dewasa, maka ada kemungkinan perilaku mereka, misalnya, sering ganti-ganti pasangan atau melacur tanpa kondom, juga berisiko terkait dengan penularan HIV. Maka, remaja-remaja putri yang menjadi korban kekerasan seksual dan bujuk rayu berisiko tertular HIV (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/07/06/33-hivaids-di-kutai-timur-kaltim-terdeteksi-pada-karyawan-swasta/).
Terkait dengan kasus-kasus seks, dengan kekerasan atau suka sama suka, yang terjadi di Kutim itu lagi-lagi kesalahan (hanya) ditimpakan kepada remaja putri. Misalanya, dengan menyalahkan cara pakaian, dll.
Selama yang disalahkan hanya remaja putri, maka selama itu pula kasus-kasus kekerasan seksual tidak akan pernah berhenti karena remaja putra dan laki-laki dewasa meresa perbuatan mereka karena kesalahan remaja putri yang memakai pekaian yang tidak sopan. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H