Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

1.048 Pelajar Belia Jadi Pekerja Seks 'Beroperasi' di Kab Cianjur, Jabar

21 Juli 2012   10:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:44 2163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah wanita penjaja seksual (WPS) yang berstatus pelajar meningkat setiap tahunnya di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan data yang dimiliki Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Cianjur, hingga saat ini jumlah WPS yang tercatat secara akumulatif sebanyak 1.048  orang, terdiri atas 621 orang WPS langsung dan 427 orang WPS tidak langsung (pelajar), dengan jumlah pelanggan diperkirakan mencapai 16 ribu orang.Ini lead di berita “AIDS Bunuh 5 Pelajar Penjaja Seks di Cianjur. Komisi Penanggulangan AIDS saat ini tangani pelajar idap AIDS hamil” (VIVAnews, 20/7-2012).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pernyataan atau kesimpulan pada lead berita di atas.

Pertama, penggunaan kata wanita penjaja seks (WPS) tidak tepat karena jaja artinya membawa barang dagangan berkeliling sambil menawarkan. Pekerja seks tidak pernah berkeliling. Yang berkeliling justru laki-laki ‘hidung belang’ (Lihat: http://bahasa.kompasiana.com/2010/08/06/pemakaian-kata-dalam-materi-kie-aids-yang-merendahkan-harkat-dan-martabat-manusia/).

Kedua, karena pekerja seks pelajar bertambah maka pelanggannya pun, termasuk laki-laki dewasa yang berstatus suami, meningkat pula. Berita ini mengabaikan (perilaku) suami yang menjadi pelanggan pekerja seks.

Ketiga, penggunaan kata ‘bunuh’ tidak tepat karena HIV/AIDS tidak mematikan. Belum ada kasus kematian karenaHIV/AIDS.

Keempat, persoalan bukan pada pekerja seks pelajar itu tapi pada masyarakat karena pelanggan mereka al. suami sehingga ada risiko penularan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga dan perempuan lain.

Andaikan setiap malam seorang pekerja seks pelajar melayani dua laki-laki ‘hidung belang’, maka setiap malam ada 2.096 (1 pekerja seks x 2 laki-laki x 1.048 pekerja seks).

Dalam berita disebutkan ‘AIDS bunuh lima pekerja seks pelajar’, maka sebelum lima pekerja seks ini meninggal mereka sudah menularkan HIV kepada 2.400 – 7.200 laki-laki (1 pekerja seks x 2 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun).

Fakta inilah yang luput dari perhatian narasumber dan wartawan yang menulis berita ini. Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus demi kasus terdeteksi di wilayah Kab Cianjur, Jabar. Dilaporkan data terakhir menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 281 yang terdiri atas 90 HIV dan 126 AIDS dengan 32 kematian.

Ketua Kelompok Kerja KPA Cianjur, Dede Rahmat,mengatakan, pelajar merupakan fenomena sosial akibat pemahaman agama yang kurang serta minimnya pengawasan keluarga, juga lebih disebabkan perubahan pola hidup yang semakin konsumtif, namun tanpa ditunjang dengan kondisi atau keadaan ekonomi.

Dede tidak adil karena hanya menyalahkan pelajar yang menjadi pekerja seks.

Apakah laki-laki ‘hidung belang’, terutama yang beristri, pemahaman agamanya tidak kurang?

Kesalahan bukan pada pelajar yang menjadi pekerja seks, tapi pada laki-laki ‘hidung belang’ yang mengumbar syahwat tanpa memikirkan dampak buruk terhadap keluarganya karena mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Disebutkan pula oleh Dede: “Dari berbagai kasus, kami banyak menemukan alasan mereka (pelajar --red) yang terjun menjadi WPS semata karena desakan ekonomi dan gaya hidup konsumtif.”

Lalu, apa alasan laki-laki ‘hidung belang’ berzina atau melacur dengan pekerja seks pelajar itu?

Disebutkan pula: “Selain itu, rendahnya pemahaman pelajar terhadap masalah HIV/AIDS mendorong tren WPS pelajar menjadi kian bertambah.”

Lalu, bagaimana pemahaman laki-laki ‘hidung belang’ terhadap HIV/AIDS? Apakah mereka menyadari perbuatan mereka yang akan bermuara pada istri dan anak-anaknya?

Rupanya, Dede tidak memahami fenomena itu dengan perspektif tapi hanya dengan sudut pandang moralitas laki-laki yang diwujudkannya dalam dirinya sendiri. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun