Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

AIDS Bukan Wabah

3 Juli 2012   00:26 Diperbarui: 15 Juni 2018   15:33 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Provinsi Jawa Tengah telah menjadi daerah pandemi HIV-AIDS, dengan posisi naik dua peringkat dalam daftar provinsi dengan kasus HIV-AIDS terbanyak.” Ini pernyataan Ketua Komisi Penanggulangan HIV-AIDS (KPA) Jawa Tengah, Rustriningsih (Jawa Tengah Jadi Daerah Pandemi HIV-AIDS (www.pikiran-rakyat.com, 1/7-2012).

Dikabarkan penyebaran dan perkembangan HIV/AIDS di Jawa Tengah sudah sangat memprihatinkan karena sejak tahun 1993 sampai Maret 2012 sudah hampir 5.000 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi.

Kasus HIV/AIDS baru yang terus terdeteksi merupakan kasus yang sudah ada di masyarakat. Jika kasus HIV/AIDS terdeteksi pada masa AIDS (sudah ada penyakit terkait dengan HIV/AIDS, seperti ruam, sariawan, jamur di rongga mulut, diare, dan TBC) berarti ybs. sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Kalau terdeteksi sebelum masa AIDS, maka minimal sudah tertular HIV tiga bulan sebelumnya.

Rustriningsih mengatakan bahwa HIV/AIDS di Jateng sebagai pandemi. Pernyataan ini tidak akurat karena pandemic adalah wabah yaitu penyakit yang berjangkit serempak di berbagai tempat yang meliputi wilayah yang luas. Ini terjadi al. karena penyakit tsb. ditularkan melalui udara, air, atau makanan.

Sedangkan HIV sebagai virus menular melalui cara-cara yang sangat khas. Selain itu dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV hanya terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI).

Nah, empat cairan itu hanya terdapat dalam tubuh manusia. Maka, penularannya pun erat kaitannya dengan perilaku manusia, tapi merupakan perilaku orang per orang bukan kalangan atau kelompok.

Maka, pertanyaan untuk Rustriningsih adalah: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Jateng yang melacur atau melakukan ‘seks bebas’ tanpa kondom di wilayah Jawa Tengah atau di luar wilayah Jawa Tengah?

Kalau jawabannya BISA, maka hubungan seksual tidak menjadi faktor risiko penularan HIV di Jateng. Penularan HIV melalui cara lain, seperti jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) yang dipakai berganti-ganti, serta transfusi darah.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Jateng didorong oleh hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Persoalannya adalah pemerintah daerah di Jateng mengabaikan (praktek) pelacuran dengan alas an di daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran. Ini yang menyesatkan karena biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang wakt di wilayah Jateng.

Regulasi pelacuran dalam bentuk lokalisasi merupakan salah satu faktor yang bisa mendorong penyebaran HIV/AIDS, tapi bisa pula sebagai tempat untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Jika pelacuran terjadi di mana-mana, maka program upaya memutus mata rantai penyebaran HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Jateng ke pekerja seks komersial (PSK) dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Jateng tidak bisa dikontrol.

Sebaliknya, kalau ada lokalisasi pelacuran, maka penyebaran HIV/AIDS dari laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Jateng ke PSK dan dari PSK ke laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Jateng tidak bisa diputus melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ jika sanggama dengan PSK.

Celakanya, di Indonesia tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK.

Disebutkan dalan barita: “Padahal pemerintah provinsi telah memberlakukan peraturan daerah tentang penanggulangan HIV-AIDS sejak 2009.”

Bukan hanya Jateng, tapi 53 daerah di Indonesia mulai dari provinsi, kabupaten dan kota sudah mempunyai perda AIDS. Ada pula satu daerah yang mempunyai peraturan gubernur, dan satu daerah lagi dengan peraturan walikota.

Di Jateng selain tingkat provinsi ada pula Perda-perda AIDS, yaitu: Mitos di Perda AIDS Kab Semarang, Jawa Tengah, Perda AIDS Kab Batang, Jateng, Menanggulangi HIV/AIDS di Hilir, dan Menyibak Peraturan Walikota Surakarta tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

Tapi, perda-perda itu sama sekali tidak memberikan cara penanggulangan HIV/AIDS yang konkret. Pasal-pasalnya hanya normatif. Perda AIDS Prov Jateng, misalnya, sama sekali tidak membicarakan (lokalisasi atau lokasi) pelacuran (Baca juga: Perda AIDS Prov Jawa Tengah Mengabaikan Risiko Penularan HIV di Lokasi Pelacuran).

Masih menurut Rustriningsih, yang lebih mengkhawatirkan adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga yang menempati urutan kedua yaitu sebanyak 394 kasus (18.3 persen).

Apakah Rustriningsih menyadari bahwa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga itu merupakan ‘buah’ dari perilaku suami mereka?

Artinya, suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu melacur tanpa kondom, bisa juga karena melakukan zina atau ‘seks bebas’ dengan perempuan tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti.

Di bagian lain disebutkan bahwa Ketua KPA Solo, Hadi Rudyatmo, mengatakan jumlah kasus HIV/AIDS di Solo juga terus merangkak naik. Solo menempati urutan pertama untuk daerah dengan kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah untuk kasus HIV/AIDS terbanyak.

Hadi lupa kalau pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun penderita banyak yang meninggal.

Masih menurut Hadi, pencairan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di kota itu terhambat akibat birokrasi yang berbelit.

Yang diperlukan bukan dana tapi langkah atau cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui pelacuran. Selain itu diperlukan pula cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil agar penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya bisa dicegah.

Celakanya, dalam peraturan walikota Solo sama sekali tdak ada langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV/AIDS.

Selama tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV di Jateng, maka Pemprov Jateng sudah harus siap-siap untuk ’panen AIDS’.

Pertanyaannya adalah: Jika kelak terjadi ledakan AIDS, apakah rumah-rumah ibadah mau menangani atau menampung penderita jika tidak tertampung di rumah sakit?

Kondisi itu sudah pernah terjadi di Thailand. Negeri itu beruntung karena bhiksu menjadikan vihara sebagai ’rumah’ bagi penderita HIV/AIDS. Selain bisa membantu pemerintah langkah konkret itu pun menghasilkan Magsaysay yaitu hadiah penghargaan dari Filipina. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun