Hadi lupa kalau pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun penderita banyak yang meninggal.
Masih menurut Hadi, pencairan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di kota itu terhambat akibat birokrasi yang berbelit.
Yang diperlukan bukan dana tapi langkah atau cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui pelacuran. Selain itu diperlukan pula cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil agar penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya bisa dicegah.
Celakanya, dalam peraturan walikota Solo sama sekali tdak ada langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV/AIDS.
Selama tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV di Jateng, maka Pemprov Jateng sudah harus siap-siap untuk ’panen AIDS’.
Pertanyaannya adalah: Jika kelak terjadi ledakan AIDS, apakah rumah-rumah ibadah mau menangani atau menampung penderita jika tidak tertampung di rumah sakit?
Kondisi itu sudah pernah terjadi di Thailand. Negeri itu beruntung karena bhiksu menjadikan vihara sebagai ’rumah’ bagi penderita HIV/AIDS. Selain bisa membantu pemerintah langkah konkret itu pun menghasilkan Magsaysay yaitu hadiah penghargaan dari Filipina. ***[Syaiful W. Harahap]***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI