Dalam berbagai kesempatan pada prakampanye dan kampanye pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur sama sekali tidak membicarakan penyebaran HIV/AIDS di Jakarta.
Padahal, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan secara nasional justru terbanyak di Jakarta. Mulai tahun 1987 sampai Maret 2012 tercatat 5.118 AIDS dan 20.216 HIV.
Masalahnya adalah: Sampai sekarang tidak ada langkah yang konkret yang dikembangkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Tentu saja calon-calon gubernur dan wakil gubernur diharapkan bisa memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jakarta jika kelak mereka terpilih menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur.
Sayang seribu kali sayang tak satupun pasangan cagub/cawagub yang memaparkan program penanggulangan HIV/AIDS.
Bahkan, dalam masalah kesehatan pun yang diumbar hanyalah biaya berobat yang gratis. Padahal, yang diperlukan bukan berobat gratis (hilir) tapi upaya untuk mencegah agar penduduk tidak sakit (hulu).
Terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Jakarta ada potensi yang sangat besar yaitu tempat-tempat hiburan yang juga menyediakan ‘cewek’ untuk transaksi seks.
Nah, terkait dengan transaksi seks tersebut diperlukan langkah yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari tamu ke ‘cewek’ di tempat hiburan dan sebaliknya.
Menutup atau menghentikan kegiatan transaksi seks di tempat-tempat hiburan tidak akan menghilangkan praktek pelacuran. Buktinya, dengan menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak di Jakarta Utara sama sekali tidak menghapus (praktek) pelacuran di Jakarta. Praktek pelacuran justru menyebar ke berbagai pelosok kota.
Di sebuah hotel di Jakarta ada praktek pelacuran yang disamarkan dengan ‘nikah’. Laki-laki yang akan melacur menikah dengan perempuan untuk jangka waktu tertentu. Mereka memakai cara pernikahan dengan memenuhi unsur-unsur nikah, yaitu pasangan calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, dan ucapan nikah.
Pada sebuah pelatihan untuk tokoh masyarakat dan tokoh agama di Puncak, Jabar (diselenggarakan oleh YPI, 2003), salah seorang peserta sering diminta jadi ‘penghulu’. Nikah itu sah karena memenuhi usur-unsur nikah, tapi perempuan yang dinikahkan melakukan nikah berulang kali dalam satu malam. Artinya, setelah ‘diceraikan’ pasangannya beberapa jam kemudian dia dinikahkan lagi.
Selama tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV di Jakarta akan terus terjadi. Perda AIDS Jakarta pun hanya penuh dengan pasal-pasal normatif sehingga tidak ada langkah yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/28/menakar-keampuhan-perda-aids-jakarta/).
Pengobatan gratis yang digembar-gemborkan cagub/cawagub dalam kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS hanyalah langkah di hilir. Artinya, pemerintah provinsi menunggu penduduk Jakarta tertular HIV dahulu (hulu) baru kemudian diberikan pengobatan gratis (hilir). ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H