Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

’Rumus Telanjang’ HIV/AIDS di Pematangsiantar, Sumut

19 Juni 2012   02:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Perda-perda AIDS di Indonesia hanya copy-paste dengan pasal-pasal normatif yang tidak menyentuh akar persoalan

”Sesuai dengan ketetapan WHO (Wold Health Organisation) yang menyatakan jika ada 1 kasus HIV/AIDS yang ditemukan maka sebanyak 100 orang telah terinfeksi HIV-AIDS, dengan ditemukannya 130 kasus HIV-AIDS menggambarkan 13.000 penderita HIV-AIDS yang belum ditemukan.” Ini pernyataan di berita13 Ribu Warga Siantar Terancam Terjangkit AIDS”(tribunnews.com, 19/6- 2012).

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap epidemi HIV di ranah realitas sosial.

WHO tidak pernah menetapkan kalau ada 1 kasus berarti ada 100 kasus yang belum ditemukan. ’Rumus’ WHO tsb. hanya untuk keperluan epidemiologis bukan untuk menghitung jumlah kasus HIV/AIDS di masyarakat. ’Rumus’ ini untuk keperluan membuat kebijakan penanggulangan, penyediaan sarana, dll. Itu pun bisa dipakai jika memenuhi beberapa faktor, al. tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, higienis rendah, dll.

Misalnya, ada satu bayi yang tertular HIV melalui transufsi darah. Apakah bayi ini otomatis (akan) menularkan HIV kepada 100 orang?

Tentu saja tidak. Maka, ’rumus’ itu bukan untuk menetapkan jumlah kasus HIV/AIDS. Memang, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (dalam kasus di Pematangsiantar 130) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan laut (Lihat gambar).

Tapi, perlu diingat tidak ada rumus yang pasti untuk menentukan besar bongkahan es (kasus yang tidak terdeteksi) berdasarkan puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut (kasus yang terdeteksi).

Maka, amatlah gegabah kalau kemudian jumlah kasus HIV/AIDS dihitung berdasakan kasus yang terdeteksi.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah ada yang bisa menjamin bahwa tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Pematangsiantar yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks di Pematangsiantar atau di luar Pematangsiantar?

Kalau jawabannya ADA, maka tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual di Pematangsiantar.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK ADA, maka ada laki-laki dewasa penduduk Pematangsiantar yang berisiko tertular HIV yang pada gilirannya akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dikabarkan dalam berita: DPRD Pematangsiantar didesak agar segera mengesahkan Ranperda HIV/AIDS dan IMS karena 13.000 penduduk Pematangsiantar terancam ditulari penyakit mematikan itu.

Pemakaian kata ’penyakit mematikan’ pun lagi-lagi menunjukkan pengetahuan wartawan terkait dengan HIV/AIDS sangat rendah. Soalnya, belum ada laporan kasus kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena HIV atau AIDS.

Kematian pada Odha terjadi di masa AIDS yaitu setelah tertular HIV antara 5 – 15 tahun karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Diberitakan bahwa desakan untuk membuat perda dilontarkan oleh Agus Marpaung,  Ketua LSM Community Based Rehabilitation (CBR) Foundation.

Kalau saja Agus mengikuti perkembangan HIV/AIDS di Sumut khususnya dan di Indonesia umumnya tentulah dia akan mengetahui kalau di Sumut sudah ada tiga perda AIDS yang merupakan bagian dari 54 perda serupa di Indonesia ditambah 1 pergub dan 1 perwalkot.

Di Sumut sudah ada perda di Kab Serdang Bedagai (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/04/perda-aids-kab-serdang-bedagai-sumut-penggunaan-kondom-100-persen-tanpa-pemantauan/), Kota Tanjungbalai (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/25/menyibak-perda-aids-kota-tanjungbalai-sumut/),dan Kota Medan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/17/pasal-pasal-normatif-penanggulangan-hivaids-di-perda-aids-kota-medan/).

Apakah perda-perda itu berguna dalam penanggulangan HIV/AIDS di tiga daerah itu?

Tidak!

Nah, kalau Agus menguji peran tiga perda itu tentulah dia tidak akan mendesak DPRD untuk merancang perda AIDS karena hanya akan membuang-buang waktu dan uang rakyat.

Diberitakan: Agus meminta agar  DPRD  segera Menetapkan Ranperda itu menjadi  Perda dengan harapan bisa menekan dan menanggulangi laju pertumbuhan Kasus HIV-AIDS dan IMS.

Yang perlu dilakukan adalah membuat program yang konkret berupa intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks, terutama di Kota Pematangsiantar.

Kalau tidak ada intervensi, maka perda itu punakan sama nasibnya dengan perda-perda yang sudah ada: pajangan di lemari arsip. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun