”Menyerang Usia Produktif. Jumlah Kasus HIV-AIDS di Tasikmalaya Masih Tinggi.” Ini judul berita di pikiran-rakyat.com (7/6-2012).
Judul berita ini menunjukkan wartawan dan redaktur yang menulis berita tsb. tidak memahami HIV/AIDS dengan benar.
Pertama, HIV adalah virus yang menular melalui cara-cara yang sangat spesifik (khas) sehingga HIV tidak menyerang kalangan tertentu.
Kedua, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga biar pun semua pengidap HIV/AIDS meninggal, angka kasus tidak akan pernah turun.
Karena dua hal di atas diabaikan wartawan maka judul berita itu pun menyesatkan.
Disebutkan: ”Sedikitnya 100 orang awak angkutan umum juga para pedagang asongan serta warga yang berada di terminal Singaparna diambil darahnya untuk mengetahui tingkat penyebaran dugaan kasus terinfeksi HIV-AIDS di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat-pen.).”
Cara yang dilakukan Dinkes Kab Tasikmalaya itu adalah survailans tes HIV. Artinya, tes dilakukan tanpa konseling dan persetujuan sehingga tidak ada tanda atau kode tertentu yang bisa menunjukkan pemilik contoh darah. Ini dilakukan hanya untuk mengetahui prevalensi (perbandingan antara yang mengidap HIV dan tidak mengidap HIV pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula).
Selanjutnya, kalau ada darah yang terdeteksi HIV maka awak angkutan umum dan pedagang asongan dikonseling (diberikan penjelasan tentang HIV/AIDS secara komprehensif). Bagi yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan dianjurkan tes HIV lagi.
Celakanya, sering terjadi hasil survailans tes HIV dianggap sebagai tes HIV dengan diagnosis. Ini yang menyesatkan.
Data yang disampaikan Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit di Dinkes Kab Tasikmalaya, Asep A Hidayat, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Tasikmalaya sampai Mei 2012 mencapai 180.
Tentu saja angka ini tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ril.
Tahun 2012 ada dua penduduk, yaitu ibu dan anaknya, yang diduga mengidap HIV/AIDS, sayang keduanya meninggal sebelum darah mereka dites HIV.
Sayang, dalam berita tidak disebutkan perihal suami atau pasangan seks ibu yang meninggal dengan anaknya itu.
Kalau ibu itu tertular dari suami atau pasangan seksnya, tentulah laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam kaitan itulah diperlukan koseling pasangan. Artinya, kalau ada bayi yang terdeteksi HIV maka dirunut ke belakang yaitu ibu dan ayah bayi tersebut. Mereka dikonseling agar mau menjalani tes HIV.
Menurut Asep: "Penanggulangannya (HIV/AIDS-pen.) harus cepat dan berkesinambungan. Karena dikhawatirkan penyebarannya semakin tak terkendali."
Pertanyaan untuk Asep: Apa langkah Pemkab Tasikmalaya yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks?
Tentu saja tidak ada. Dalam Perda AIDS Kab Tasikmalaya punt idak ada cara penanggulangan yang konkret (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/02/28/menyibak-peran-perda-aids-kab-tasikmalaya-jawa-barat/).
Kalau Pemkab Tasikmalaya tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan sampai pada ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H