Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penanggulangan HIV/AIDS di Bali Tanpa Program yang Konkret

20 Mei 2012   01:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:05 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikabarkan prevalensi penularan virus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks komersial di wilayah Bali berkisar 20 sampai 25 persen. "Artinya satu dari empat orang penjaja cinta di Pulau Dewata sudah terpapar virus mematikan tersebut," kata Pelaksana Program Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali Yahya Anshori (Satu dari empat pekerja seks positif HIV/AIDS, www.antaranews.com, 19/5-2012).

Selama ini wartawan sering dituding tidak bisa menulis berita HIV/AIDS dengan benar. Berita ini berbicaralain. Dalam berita jelas kesalahan bukan pada wartawan tapi pada narasumber yaitu Yahya Anshori, Pelaksana Program Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali.

Lihat saja pernyataan ’terpapar virus mematikan tersebut’. Ini jelas menyesatkan karena belum ada laporan kematian karena HIV atau AIDS. Atau, KPA Bali sudah menemukan kasus kematian karena HIV/AIDS.

Penggunaan kata ’penjaja cinta’ untuk sebutan bagi pekerja seks komersial (PSK) juga tidak tepat karena PSK tidak berkeliling menjajakan (diri). Justru laki-laki hidung belang yang mencari PSK. Banyak penggunaan kata yang tidak manusiawi (Lihat: http://bahasa.kompasiana.com/2010/08/06/pemakaian-kata-dalam-materi-kie-aids-yang-merendahkan-harkat-dan-martabat-manusia/).

Memang, wartawan yang menulis berita ini pun tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis dan tidak membawa informasi ke realitas sosial.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali dikabarkan mencapai 5.917 dengan 695 kematian.

Pertama, prevalensi (perbandingan antara yang mengidap HIV dan yang tidak mengidap HIV pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) HIV/AIDS pada pekerja seks komersial (PSK) menunjukkan risiko tertular HIV bagi laki-laki ’hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Dalam berita juga tidak dijelaskan pasa PSK mana prevelansi HIV/AIDS itu: apakah pada PSK langsung atau PSK tidak langsung?

Prevalensi HIV/AIDS pada PSK itu pun tidak menggambarkan realitas sosial terkait dengan epidemi HIV karena tidak ada pembanding, misalnya pada laki-laki pegawai, karyawan, mahasiswa, polisi, wartawan, dll.

Kedua, ada kemungkinan HIV/AIDS pada PSK justru ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Ini menunjukkan prevalensi HIV/AIDS pada laki-laki dewasa, terutama laki-laki ’hidung belang’, di Bali juga tinggi.

Ketiga, dengan prevalensi 20-25 persen pengidap HIV/AIDS pada PSK merupakan risiko besar bagi laki-laki ’hidung belang’ penduduk Bali, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

Menurut Yahya, kondisi tersebut (prevalensi HIV/AIDS pada PSK-pen.) mengindikasikan semakin tingginya pekerja seks yang beroperasi secara terselubung atau tak terdeteksi.

Pernyataan Yahya ini tidak nalar karena disebutkan pekerja seksnya terselubung sehingga tidak bisa terdeteksi. Lalu, bagaimana cara KPA Bali mendapatkan angka prevalensi dari PSK yang terselubung?

Penyebaran HIV dari laki-laki lokal ke PSK terjadi pada praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).

Penyebaran HIV dari laki-laki ke PSK bukan karena terselubung (sifat pelacuran), tapi karena laki-laki lokal tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK (kondisi hubungan seksual).

Masih menurut Yahya, membuat susah untuk mendeteksi serta memberikan sosialisasi tentang bahaya seks terhadap para penjaja seks tersebut.

Yang perlu mendapat sosialiasi bukan PSK, tapi laki-laki dewasa penduduk Bali agar tidak ada lagi yang melacur (tanpa kondom).Ini yang perlu dilakukan oleh KPA Bali, bukan menyasar PSK.

Biar pun PSK sudah memahami HIV/AIDS posisi tawar mereka tetap rendah ketika berhadapan dengan laki-laki ’hidung belang’ yang menolak memakai kondom. Selama tidak ada program KPA Bali yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual, maka selama itu pula penyebaran HIV di Bali akan terus terjadi.

Masih menurut Yahya, selain penularan melalui hubungan seks bebas yang kian mengkhawatirkan, saat ini virus HIV juga telah menyasar warga pedesaan di Pulau Dewata.

Pernyataan ini mengesankan HIV ’menyasar’ penduduk di pedesaan. Ini menyesatkan karena HIV tidak ada di udara atau di air sehingga tidak menyebar seperti wabah.

Dibagian lain Yahya mengatakan: ”Warga pedesaan yang terpapar virus mematikan itu adalah kaum ibu muda dan anaknya yang tertular oleh suaminya.”

Penularan HIV kepada ’kaum ibu muda’ yang dilakukan suami mereka jelas melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam ikatan pernikahan. Tentu saja ini membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Beberapa peraturan daerah (perda) di Bali sama sekali tidak ada yang menawarkan cara-cara penanggulangan HIV yang konkret. (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/29/menyibak-perda-perda-penanggulangan-aids-di-bali/).

Kalau tidak ada langkah konkret yang dijalankan oleh KPA Bali, maka kekhawatiran Bali akan menjadi ’pulau AIDS’ tinggal menunggu waktu saja (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/25/selamatkan-p-bali-agar-tidak-jadi-%E2%80%98pulau-aids%E2%80%99/).

Celakanya, penanggulangan HIV/AIDS hanya berpijak pada moral sehingga tidak bisa dijalankan sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS yang konkret. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun