Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tiap Bulan Lima Pengidap HIV/AIDS Meninggal di Jembrana, Bali

13 Mei 2012   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:22 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Kab Jembrana, Bali, menunjukkan sampai akhir April 2012 tercatat 338 kasus kumulatif HIV/AIDS. Dari jumlah tersebutsetiap bulan lima pengidap AIDS meninggal dunia. Sejak tahun 2005 sudah 114 pengidap HIV/AIDS penduduk Jembrana yang meninggal (Di Jembrana Dalam Sebulan, Lima Pengidap AIDS Meninggal, Harian “Bali Post”, 12/5-2012).

Angka kematian pada pengidap HIV/AIDS itu ternyata tidak menarik bagi wartawan yang menulis berita ini. Padahal, kalau kematian itu dibawa ke realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS, maka angka itu akan berbicara banyak.

Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjadi setelah tertular antara 5 – 15 tahun). Celakanya, pada rentang waktu itu orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka. Tidak ada pula keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS.

Akibatnya, mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Kondisinya kian runyam karena yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Jika setiap bulan ada lima pengidap HIV/AIDS yang meninggal, maka selama kurun waktu 5 – 15 tahun sebelum kematian mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau lima yang meninggal laki-laki beristri maka sudah ada sepuluh pengidap HIV,yaitu lima yang meninggal ditambah lima istri mereka.

Kalau lima laki-laki itu juga mempunyai pasangan selain istrinya, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV bertambah pula.

Istri-istri yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal), terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Data yang dikemukakan KPA Jembaran menunjukkan sudah 114 pengidap HIV/AIDS penduduk Jembarana yang meninggal. Kalau satu pengidap HIV/AIDS yang meninggal ini mempunyai satu pasangan saja, maka sudah ada 228 penduduk Jembarana yang mengidap HIV/AIDS. Kalau ada di antaranya istri, maka jumlah pengidap HIV akan bertambah jika mereka melahirkan anak karena ada risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Nah, realitas sosial itulah yang tidak dipaparkan wartawan sehingga kematian pengidap HIV hanya kematian biasa di mata banyak orang.

Celakanya, pengurus KPA Kab Jembrana pun tidak memberikan pemaparan realitas sosial itu ketika melakukan sosialisasi HIV/AIDS kepada siswa-siswi SMA PGRI.

Kondisinya kian runyam karena KPA Jembarana tidak mempunyai program yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual.

Disebutkan: ”Penularan melalui hubungan seks bebas yang paling tinggi di Jembrana.” Ini adalah mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual), bukan karena ’seks bebas’ (sifat hubungan seksual).

Disebutkan lagi: ”Bahkan, trennya bukan hanya karena dari PSK, tetapi justru dari pasangan sendiri.” Ini terjadi karena ada suami di Jembrana yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yang mengidap HIV tanpa kondom. PSK yang mengidap HIV/AIDS itu pun ada kemungkinan tertular dari laki-laki dewasa penduduk Jembarana.

Dikabarkan bahwa di Jembrana ada salah satu sekolah menengah yang 80 siswinya merupakan CO (cewek orderan).

Yang jadi persoalan bukan 80 siswi CO itu, tapi laki-laki yang ’memakai’ CO itu. Laki-laki tsb. bisa saja suami. Kalau suami ini tertular HIV dari CO, maka suami-suami itu menularkan HIV kepada istrinya.

Dikabarkan kondisi itu, membuat KPA Jembrana intens melakukan langkah preventif hingga ke sekolah-sekolah.

Pertanyaannya adalah: Apakah informasi HIV/AIDS yang disempaikan kepada siswa-siswi itu akurat?

Ternyata tidak. Lihat saja pernyataan ini: ”Kendati tidak disarankan, para siswa juga diberikan sosialisasi penggunaan kondom untuk pencegahan.”

Lalu, apa yang dilakukan siswa untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual? ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun