“Cegah HIV/AIDS Saat Hamil” (www.pontianakpost.com, 5/5-2012). Judul berita ini sangat menarik karena merupakan cara baru dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi, setelah berita dibaca ternyata yang dimaksud bukan mencegah penularan HIV pada perempuan hamil di saat mengandung, tapi mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Hulu, dr H Harisson, M.Kes, mengatakan, pihaknya akan terus melaksanakan program penurunan angka penderita HIV/AIDS yang dimulai dari ibu hamil.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Kapuas Hulu dari tahun 2005 sampai September 2011 terdeteksi 39 kasus HIV/AIDS dengan22 kamatian.
Yang dilakukan Dinkes Kapuas Hulu itu adalah penanggulangan di hilir. Artinya, menunggu perempuan tertular HIV kemudian hamil baru ditangani. Maka, yang terjadi hanya memutus mata rantai penularan HIV dari perempuan hamil ke bayi yang dikandungnya.
Pertanyaannya: Apa langkah dinkes terhadap suami atau pasangan perempuan-perempuan yang terdeteksi mengidap HIV ketika hamil?
Disebutkan: Langkah yang diambil pada setiap ibu hamil akan diambil sampel darahnya pada saat mereka memeriksakan kehamilannya di Posyandu, Puskesmas, rumah sakit, dokter/bidan praktek.
Yang perlu ditanya wartawan adalah: Apakah cara itu sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku?
Antara lain: konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent (persetujuan), anonimitas (yang mengetahui identitas hanya dokter dan yang tes), dan kerahasiaan (identitas tidak boleh dipublikasikan tanpa izin ybs.).
Ada kemungkinan wartawan yang menulis berita ini tidak memahami standar tes HIV yang baku.
Disebutkan oleh Harison, proses kelahirannya harus melalui operasi agar janinnya tidak tertular penyakit HIV/AIDS. Karena kalau melalui vagina sudah dijamin pasti akan tertular penyakit HIV/AIDS.
Tidak jelas apakah pernyataan ’Karena kalau melalui vagina sudah dijamin pasti akan tertular penyakit HIV/AIDS’ merupakan ucapan Harison. Soalnya, pernyataan ini menyesatkan karena penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya ketika persalinan melalui vagina tidak terjadi otomatis.
Harisson mengatakan bahwa untuk pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS diharapkan agar dalam kehidupan keluarga memperhatikan nilai-nilai moral agama.
Laki-laki yang kawin-cerai tidak melawan nilai moral dan agama, tapi mereka berisiko tertular dan menularkan HIV jika hubungan seksual di dalam nikah dilakukan tanpa kondom. Soalnya, risiko akan terjadi karena mereka berganti-ganti pasangan di dalam nikah. Bisa saja di antara mereka ada yang pernah berpasangan dengan yang berperilaku berisiko tertular HIV.
Perda AIDS Prov Kalbar pun sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kalbar (Lihat).
Selama perilaku sebagian laki-laki di Kapuas Hulu tetap melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks atau waria, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga atau perempuan hamil menunjukkan perilaku suami atau pasangan mereka berisiko tertular HIV.
Jika tidak ada intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks dan waria, maka selama itu pula penyebaran HIV di Kapuas Hulu akan terus terjadi. Tinggal menunggu ’ledakan AIDS’ sebagai bukti penyebaran HIV. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H