* Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia (hanya) dilakukan di hilir
Laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai dengan 31 Desember 2011 yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL,Kemenkes RI tanggal 29 Februari 2012 menunjukkan jumlah kasu sudah menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan 106.758 yang terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kamatian.
Angka ini tidak mengherankan karena di awal tahun 2000-an kalangan ahli epidemiologi sudah membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu berkisar antara 80.000 – 130.000.
Tahun 2001 Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang menanganni HIV/AIDS), waktu itu dijabat Dr Peter Piot, juga sudah mengingatkan Indonesia terkait dengan percepatan penyebaran kasus HIV/AIDS terutama melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).
Bahkan perda-perda itu justru menyuburkan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena di beberapa perda disebutkan: ’mencegah HIV/AIDS dengan cara meningkatkan iman dan taqwa’. Ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV tidak mempunyai iman dan taqwa.
Kondisi itu terjadi karena pemerintah tidak mengakui ada praktek pelacuran di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ’resmi’. Bahkan, beberapa daerah membusungkan dada karena ada perda anti maksiat dan anti pelacuran sehingga mereka menyatakan daerahnya bebas praktek pelacuran.
Rasa bangga ditunjukkan oleh beberapa daerah yang memastikan program penanggulangan berhasil di daerahnya dengan bukti penemuan kasus yang banyak. Dari satu sisi itu benar, tapi yang dilupakan adalah hal itu dilakukan di hilir. Artinya, menunggu penduduk tertular HIV dahulu baru dideteksi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/09/penanggulangan-aids-di-indonesia-hanya-dilakukan-di-hilir/).
Kasus insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa bisa dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. Desember 2010 dilaporkan sudah ada 1.970 istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Pemerintah kemudian menelurkan tujuh langkah penanggulangan HIV/AIDS. Celakanya, langkah tersebut hanya bekerja di hilir (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/04/mencapai-%E2%80%98indonesia-bebas-insiden-infeksi-hiv-baru-pada-tahun-2015%E2%80%99-dengan-penanggulangan-di-hilir/).
Salah satu cara untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks adalah memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks. Tapi, Pemprov Papua malah mengganti kondom dengan sunat. Padahal, sunat bukan mencegah penularan HIV tapi menurunkan risiko tertular HIV. Itu pun hanya kepala penis, sedangkan permukaan penis yang luas justru tidak terlindungi (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/20/aids-di-papua-sunat-bisa-menjerumuskan-karena-dianggap-kondom-alam/).
Ketika beberapa negara sudah memanfaatkan kondom sebagai salah satu cara menurunkan insiden infeksi HIV baru, di Indonesia justru ’debat kusir’ tentang kondom tidak berujung.
Selama pemerintah mengabaikan perilaku sebagian laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks, maka selama itu pula penyebaran HIV terus terjadi.
Sampai sekarang tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulangi insiden penularan HIV baru. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H