Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Raperda AIDS Prov Sumbar: Menanggulangi HIV/AIDS di Hilir

24 April 2012   00:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:13 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Laporan Kemenkes RI (29/2-2012) menunjukkankasus kumulatifHIV/AIDSdi Prov Sumatera Barat (Sumbar) sampai Desember 2011 mencapai 996 yang terdiri atas 568 HIV dan 428 AIDS. Angka ini pun tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.

Untuk itulah diperlukan langkah-langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks.

Pemprov Sumbar merancang peraturan daerah (perda) tentang pencegahan da penanggulangan HIV/AIDS. Sayang, yang diutamakan dalam perda itu justru yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV di hulu.

Di pasal 32 ayat (1) ranperda tersebut diseburtkan: ” .... setiap orang dilarang melakukan diskrimisasi dalam bentuk apa pun kepada orang yang disanka atau terinfeksi HIV-Aids." (Larangan Diskriminasi terhadap Penderita HIV/AIDS Disahkan, www.mediaindonesia.com, 23/4-2012).

Diskriminasi (perlakuan berbeda) terjadi pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Artinya, diskriminasi itu terjadi pada orang-orang yang sudah tertular HIV dan identitasnya dipublikasikan.

Jika dikaitkan dengan upaya penanggulangan maka itu langkah di hilir. Artinya, orang tertular HIV dahulu lalu dideteksi kemudian dilindungi agar tidak terjadi diskriminasi.

Padahal, mata rantai penyebaran HIV justru terjadi di hulu. Paling tidak ada tiga perilaku berisiko yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Sumbar, yaitu:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Prov Sumbar, di luar wilayah Prov Sumbar dan di luar negeri.

(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Prov Sumbar, di luar wilayah Prov Sumbar dan di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Prov Sumbar, di luar wilayah Prov Sumbar dan di luar negeri.

Pertanyaannya adalah: Apakah dalam perda itu ada pasal-pasal yang konkret untuk menjangkau atau melakukan intervensi terhadap tiga perilaku di atas?

Kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Sumbar yaitu penyebaran HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selain itu dikabarkan ada pula larangan untuk melakukan tes HIV wajib (mandatory test). Lagi-lagi ini juga terjadi di hilir.

Menurut Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, dalam raperda itu juga diatur bahwa setiap orang atau pihak terkait yang telah mengetahui seseorang atau individu telah terinfeksi HIV, dilarang mendonorkan atau meneruskan darah, produk darah, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Ini juga pasal yang sia-sia karena PMI diwajibkan melakukan skrining atau uji saring terhadap darah donor sebelum ditransfusikan.

Yang menjadi persoalan besar dalam transfusi darah adalah rapid test yang dilakukan di PMI tidak akan akurat kalau donor menyumbangkan darahnya pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan). Hasil skrining PMI bisa negatif palsu. Artinya, HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi melalui skrining di PMI sehingga darah yang mengandung HIV itu ditransfusikan.

Disebutkan pula: ” .... setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV, dilarang dengan sengaja menularkan infeksinya kepada orang lainnya.”

Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen orang-orang yang menularkan HIV dan tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Tidak ada pula keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS.

Melihat pasal-pasal yang ada dalam raperda itu, maka tidak pelak lagi raperda AIDS Sumbar ini pun hanyalah copy-paste dari perda yang sudah ada.

Maka, sudah bisa dipastikan perda itu pun tidak berguna sama seperti 56 perda lain yang sudah ada di Indonesia. Maka, Pemprov Sumbar tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun