Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Pelacuran: Persoalan Bukan pada Pekerja Seks tapi pada Laki-laki ‘Hidung Belang’

14 April 2012   04:23 Diperbarui: 7 Januari 2019   08:28 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Pemkab Majene, Sulawesi Barat (Sulbar), merancang peraturan daerah (perda) tentang pelacuran

Cara memandang (praktek) pelacuran atau prostitusi yang hanya ‘menembak’ pekerja seks komersial (PSK) tidak akan menyelesaikan masalah. Biar pun ada perda anti pelacuran tetap saja praktek pelacuran bisa terjadi. 

Di Kab Majene, Sulbar, dikabarkan prostitusi mulai marak. Untuk mengatasi yal itu maka Pemkab Majene akan membuat perda tentang pelacuran (Prostitusi Mulai Marak di Majene, www.seputar-indonesia.com, 14 April 2012).

Sudah banyak daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang mempunyai perda anti maksiat, anti pelacuran, dll. tapi pelacuran tetap saja terjadi. Lihat saja di Kota Tangerang, Prov Banten, yang sejak dulu diangung-agungkan karena mempunyai perda anti pelacuran. 

Apakah di Kota Tangerang sama sekali tidak ada pelacuran?

Tentu saja ada. Seorang penjangkau PSK dan waria di Kota Tangerang mengatakan setiap malam dia menjangkau 100 PSK dan waria. Jumlah ini belum termasuk yang praktek melalui panggilan telepon, kurir, karyawan hotel, dll. 

[Baca juga:  AIDS pada Balita di Kota Tangerang: Suami-suami sebagai Penyebar HIV]

Persoalan pada pelacuran atau prostitusi bukan pada PSK, tapi pada laki-laki ’hidung belang’. Seketat apa pun peraturan laki-laki ’hidung belang’ akan bisa mencari celah.

Di Jakarta, misalnya, di salah satu hotel laki-laki yang mau melacur dinikahkan dulu dengan PSK. Secara hukum pernikahan itu sah karena memenuhi rukun nikah, yaitu: (calon) mempelai lak-laki dan perempuan, wali, saksi, dan ijab kobul.

Hal yang sama terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Banyak pelancong dari kawasan Timur Tengah yang melakkan ’perkawinan singkat’ di sana. Ada yang hitungan jam, hari, pekan dan bulan. Di sana dikenal sebagai kawin kontrak.

[Baca juga:  ‘Pernikahan Singkat’ Antara Perempuan di Puncak dengan Laki-laki Asal Timur Tengah (Bisa) Mewariskan AIDS]

Apalagi dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS, maka yang jadi persoalan lagi-lagi bukan PSK tapi laki-laki ’hidung belang’.

Pertama, yang (akan) menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa sebagai suami, pacar, dll.

Kedua, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yang mengidap HIV akan berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa sebagai suami, pacar, dll.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Buktinya bisa dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Ibu-ibu itu tertular HIV dari suaminya yang kemudian menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Disebutkan: ”Kendati masih terselubung, namun diketahui ada tiga lokasi yang sering dijadikan sebagai tempat praktik maksiat di daerah itu.”

Biar pun tidak ada tempat atau lokasi pelacuran praktek pelacuran akan terus terjadi dalam berbagai bentuk. Dikenal ada dua jenis PSK yaitu PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).

Jika dikaitkan dengan penyebaran HIV, maka risiko pelaing besar justru pada PSK tidak langsung. Di Makasar dan Denpasar, misalnya, penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/). 

Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polres Majene Ajun Komisaris Polisi (AKP) Jubaidi, mengatakan ada tiga tempat prostitusi dalam kota Majene yaitu di Lingkungan Leppe, di belakang Kantor Bupati,dan di Lingkungan Mangge.

Pertanyaan: Siapa yang datang atau mendatangi tempat prostitusi itu?

Kalau jawabannya laki-laki, maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki yang pergi ke tempat prostitusi itu. Kalau tidak ada laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang mendatangi lokasi pelacuran itu tentulah tidak akan pernah ada transaksi seks di sana.

Menurut Kepala Badan Pemerintahan Desa Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana (BPDPMPKB) Majene, Muh Ali Side: ”Kalau praktek prostitusi memang banyak, di pusat pertokoan juga ada tapi kalau lokalisasi tidak ada.”

Di daerah yang tidak ada lokalisasi yang diatur dengan perda pun tetap saja ada praktek pelacuran. Lagi-lagi kuncinya bukan pada PSK, tapi ada pada laki-laki ’hidung belang’.

Masih menurut Muh Ali Side: ” .... semua yang menjajakan seks disana itu adalah orang luar (barang impor), dan saat didatangi tempat itu untuk mencari informasi tidak ada yang mau memberi tahu.”

Dalam dunia prostitusi PSK dari daerah ”X” akan praktek di daerah ”Y”. Maka, PSK yang beroperasi di Majene tentulah dari luar. 

Nah, pertanyaanya kemudian: Siapa laki-laki yang memakai PSK ’barang impor’ itu?

Apakah laki-laki juga dari luar Majene atau pelancong?

Ya, ada juga pelancong tapi yang paling banyak tentulah laki-laki penduduk Majene dan sekitarnya.

Dikabarkan Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Arifuddin menyebutkan, bahwa pihaknya saat ini telah merancang larangan prostitusi dalam peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang seks komersial dan penikmatnya. 

Sanksi hukum paling berat yang bisa diatur perda hanya enam bulan. Lagi pula praktek pelacuran banyak yang terjadi secara tertutup sehingga tidak mudah untuk ditangkap.

Menurut Ketua Pelaksana KPA Majene Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Majene yang Wakil Bupati Majene, Fahmi Massiara: ”Harus banyak model yang dilakukan agar bisa menanggulangi ancaman AIDS.” 

Menanggulangi penyebaran HIV melalui hubungan seks hanya satu model yaitu tidak melakukan hubungan seksual dengan yang mengidap HIV/AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun