“Angka penyebaran Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan Human Immune Virus (HIV) di Kabupaten Majalengka cukup mencengangkan. Sejak 2001-2011, jumlah penderita mencapai 52 orang.” Ini lead berita “Ditemukan 52 Kasus HIV/AIDS. Hingga Februari Tahun Ini Sudah Lima Orang” (radarcirebon.com, 5/4-2012).
Tidak ada yang mencegangkan dari angka itu karena jika kasus itu terdeteksi dalam kurun waktu 10 tahun tentulah sangat kecil. Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Maka, dengan 52 kasus yang terdeteksi tidak berarti hanya itu kasus HIV/AIDS yang ada di Kab Majalengka, Jabar.
Dalam berita disebutkan: “Jangan sampai kasus HIV/AIDS menjadi kejadian luar biasa (KLB).”
Penyakit yang bisa masuk KLB adalah yang penularannya dengan cepat melalui air dan udara. Sedangkan HIV/AIDS tidak menular melalui air dan udara.
Yang menjadi persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV/AIDS adalah banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak menyadarinya. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan bahwa: ”Tujuan rakor untuk sinergitas dan koordinasi antara satuan tupoksi, membangun komitmen dengan menyusun dan merumuskan program penanggulangan HIV/AIDS, serta merumuskan kesepakatan dalam bentuk nyata menurunkan kasus HIV/AIDS.”
Ketika penyebaran HIV/AIDS sedang terjadi ternyata Pemkab Majalengka baru pada tahap rapat koordinasi merumuskan program penanggulangan.
Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (52) hanya bagian kecil, digambarkan sebagai puncak gunung es, dari kasus yang ada di masyarakat, digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Disebutkan pula: “Generasi muda yang rawan terinfeksi harus dibina dimana mereka merupakan usia seksual aktif, minimnya pengetahuan HIV/AIDS, serta sebagai infiltrasi budaya asing (seks bebas).”
Kalau ‘seks bebas’ adalah zina atau melacur, maka hal itu bukan budaya asing. Perilaku berzina ada di mana-mana di muka bumi ini. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV.
Yang potensial sebagai penyebar HIV/AIDS justru diabaikan pada rakor itu, yaitu pekerja seks, TKW, pekerja dan pedagang keliling serta laki-laki ‘hidung belang’.
Kasus HIV/AIDS pada TKW sudah terdeteksi di banyak daerah. Begitu pula dengan pekerja seks asal Majalengka jika ‘pulang kampung’ akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Begitu pula dengan laki-laki ‘hidung belang’ akan menularkan HIV kepada istrinya jika tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks.
Tanpa langkah konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Majalengka akan terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H