Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perda AIDS Kota Medan yang Kelak (Akan) Sia-sia

19 Agustus 2011   08:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biar pun sudah ada 50 peraturan daerah (Perda) tentang pencegahan dan penanggulangan AIDS di Indonesia, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota, tapi Pemko Medan, Sumut, tetap akan menelurkan perda. Di Sumut sendiri sudah ada dua daerah yang menelurkan Perda AIDS yaitu Kab Serdang Bedagai dan Kota Tanjung Balai (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/30/ranperda-aids-kota-medan-tidak-berkaca-ke-kab-serdang-bedagai-dan-kota-tanjungbalai/).

Kalau saja Pemko Medan melirik dua daerah itu terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS tentulah perda yang akan mereka telurkan jauh lebih baik. Tapi, bertolak dari ranperda AIDS Kota Medan ternyata pasal-pasal yang ditawarkan tidak lebih baik. Bahkan, tidak ada pasal yang konkret yang bisa dipakai untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kota Medan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/20/menanti-pasal-pencegahan-aids-yang-konkret-di-perda-aids-kota-medan/).

Untuk memasyarakatkan ranperda yang sarat dengan moral itu dikabarkan Pemko Medan, melalui Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat,memasyarakatkan Ranperda tsb. kepada tokoh masyarakat (Pemko Medan Gelar Sosialisasi Ranperda Penanggulangan HIV/AIDS, Tribun Medan, 18/8-2011).

Dikabarkan: “Kegiatan ini diharapkan dapat membangun pemahaman dan kebersamaan sehingga tercipta sinergi antara Pemko Medan dengan masyarakat dalam penanggulangan sekaligus pencegahannya.”

Yang diperlukan adalah pasal-pasal yang menyentuh akar persoalan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Jika pasal-pasal dalam perda itu kelak tidak berbeda dengan pasal-pasal penanggulangan yang ada di perda-perda lain maka perda itu pun akan sia-sia (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/15/perda-aids-kota-medan-yang-akan-sia-sia/).

Dalam pidato tertulis Walikota Medan, Rahudman Harahap, disebutkan:“Sosialisasi ini dilakukan sebagai salah satu bentuk upaya Pemko Medan   dalam rangka penanganan dan pencegahan perkembangan HIV/AIDS di Kota Medan. Dengan demikian dapat menyelamatkan jiwa-jiwa, termasuk generasi penerus bangsa.”

Celakanya, pasal-pasal dalam ranperda tidak satu pun yang menukik ke upaya penanggulangan AIDS yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/tanggapan-terhadap-rancangan-perda-aids-kota-medan/).

Salah satu faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Hubungan seksual itu berupa perilaku berisko yaitu:

(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Kota Medan atau di luar Kota Medan.

(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewel kafe’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Kota Medan atau di luar Kota Medan.

Nah, jika Pemko Medan mau menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan cara melakukan intervensi terhadap (a) dan (b) yaitu melalui program ‘wajib memakai kondom’ pada perilaku (a) dan (b). Program ini sudah diterapkan Thailand dan berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Ada salah paham yang sangat mendasar di Indonesia terkait dengan lokalisasi pelacuran. Tidak ada negara yang melegalkan pelacuran. Yang ada adalah membuat regulasi berupa melokalisir pelacuran agar bisa ditangani untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit, seperti HIV, dari laki-laki ‘hidung belang’ ke PSK dan sebaliknya.

Maka, pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemko Medan bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk Kota Medan, asli atau pendatang, yang akan melakukan perilaku (a) atau (b) atau dua-duanya? Jika tidak menyentuh realitas sosial terkait dengan perilaku berisiko, maka perda itu pun kelak sia-sia saja (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/07/raperda-aids-kota-medan-penanggulangan-di-awang-awang/).

Kalau jawabannya YA, maka tidak perlu repot-repot membuat perda.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga merupakan bukti bahwa ada laki-laki dewasa penduduk Kota Medan yang melakukan perilaku (a) atau (b) atau dua-duanya.

Celakanya, di Kota Medan dan daerah lain di Indonesia ada gerakan moral untuk menutup lokalisasi pelacuran. Pejabat, serta pemuka masyarakat dan agama di daerah-daerah tsb., termasuk Kota Medan, pun menepuk dada: Daerah kami bebas pelacuran!

Tanpa mereka sadari (praktek) pelacuran terus terjadi di berbagai tempat dengan berbagai cara dan sepanjang hari. Kota Tangeran, Banten, yang sudah menerapkan perda anti pelacuran, misalnya, tetap saja terjadi pelacuran. Seorang aktivis yang mendampingi PSK dan waria di sana mengatakan bahwa setiap malam lembaganya mendampingi 100 PSK dan waria yang ‘praktek’,

Disebutkan: “ …. perkembangan AIDS  kini telah sampai ke wilayah pedesaan. Perkembangan penyakit mematikan ini umumnya disebabkan hubungan seksual, ….”

HIV sebagai virus tidak ‘merambah’ karena virus ini hanya terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV. Maka, yang menyebarkan HIV adalah orang-orang yang mengidap HIV. Semua terjadi tanpa mereka sadari.

HIV dan AIDS bukan penyakit mematikan karena tidak belum ada kasus kematian karena HIV atau AIDS. Yang mematikan pada odha (orang dengan HIV/AIDS) adalah infeksi oportunistik yaitu penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun), seperti diare, TB, dll.

Disebutkan pula; “Sejauh ini HIV/AIDS belum bisa ditangani secara medis. Apabila korbannya positif  terjangkit, maka berujung pada maut.”

Pertanyaan ini tidak akurat. HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, bisadiuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun dapat diketahui. Pencegahan HIV bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis.

Sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang menekan laku perkembangbiakan HIV di dalam darah sehingga sistem kekebalan tubuh odha tetap terjaga agar infeksi oportunistik bisa dicegah. Semua penyakit bisa berakhir kepada kematian. Diare atau demam berdarah bisa membunuh dalam hitungan hari, sedangkan HIV/AIDS membutuhkan waktu belasan tahun agar masuk ke masa AIDS yang memungkinkan ada infeksi oportunistik yang menyebabkan kematian.

Disebutkan pula: ” .... HIV/AIDS tidak memandang korban dari golongan manapun. …”Ini tidak akurat. Tidak semua orang berisiko tertular HIV. Yang berisiko hanya orang-orang yang melakukan perilaku (a) dan (b) di atas.

Dikabarkan: “Itu sebabnya HIV/AIDS merupakan masalah serius. Untuk itu harus fokus dalam upaya pencegahan dan penanganannya.“

Celakanya, dalam ranperda AIDS Kota Medan tidak ada satu pun pasal yang memberikan cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret!

Jika kelak Perda AIDS Kota Medan tidak berbeda dengan 50 perda AIDS yang sudah ada, maka perda itu pun akan sia-sia. Habis arang besi binasa. Pemko Medan tinggal menunggu ’panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun