” .... semua orang bisa tertular penyakit HIV/AIDS terutama akibat berhubungan sex ....” Ini dikemukakan oleh Sekertaris Komisi Penanggulangan Aids Kota Cirebon, Jawa Barat, Sri Maryati (Penderita HIV/AIDS di Cirebon Meningkat, www.berita8.com, 21-2/2012).
Pernyataan itu tidak akurat karena tidak semua orang (pernah) melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Penularan HIV sangat khas karena hanya melalui cara-cara tertentu yaitu: (a) hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV. (b) menerima transfusi darah yang mengandung HIV, (c) menggunakan jarum suntik yang mengandung HIV, dan (d) menyusui air susu ibu (ASI) yang mengandung HIV.
Orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah yang perilakunya berisiko, yaitu:
(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kota Cirebon, di luar wilayah Kota Cirebon, atau di luar negeri.
(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kota Cirebon, di luar wilayah Kota Cirebon, atau di luar negeri.
(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kota Cirebon, di luar wilayah Kota Cirebon, atau di luar negeri.
Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Cirebon sudah dilaporkan 494.
Disebutkan oleh Sri Maryati: ” .... penularan penyakit tersebut sulit dikendalikan terutama pecandu narkotika jenis jarum suntik.”
Penyebaran HIV melalui hubungan seksual terjadi tanpa disadari oleh orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Tapi, kalau saja Pemkot Cirebon menanggulangi HIV/AIDS dengan cara-cara yang konkret penyebaran HIV, terutama insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, dapat diturunkan. Langkah konkret adalah membuat program yang mengharuskan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Sayang, dalam peraturan daerah (Perda) AIDS Kota Cirebon tidak ada langkah-langkah konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/24/menyibak-langkah-perda-aids-kota-cirebon/).
Di wilayah Kab Cirebon sebagai tetangga dekat Kota Cirebon praktek pelacuran disamarkan sebagai ’tempat esek-esek’, sehingga dikesankan di Kab Cirebon tidak ada praktek pelacuran (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/07/21/praktek-%E2%80%98esek-esek%E2%80%99-di-kab-cirebon-jabar/).
Tidak jelas apakah di Kota Cirebon kegiatan pelacuran juga disebutkan sebagai ’esek-esek’. Biar pun pelacuran disebut ’esek-esek’, tapi praktek pelacuran terus terjadi. Laki-laki ’hidung belang’ menularkan HIV kepada PSK, dan PSK menularkan HIV kepada laki-laki ’hidung belang’ yang lain.
Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan bayi membuktikan ada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di tempat ’esek-esek’ atau di tempat lain, seperti losmen, hotel melati, atau hotel berbintang.
Sedangkan penularan HIV pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) tidak bisa dibuktikan karena sebelum menyuntik narkoba dan selama menyuntik narkoba mereka juga melakukan hubungan seksual yang berisiko.
Dalam berita disebutkan penularan HIV juta terjadi karena ’pergaulan sex bebas’. Kalau yang dimaksud dengan ’pergaulan sex bebas’ adalah melacur, maka pernyataan itu tidak akurat.
Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, ’pergaulan sex bebas’, ’jajan’, dll.).
Disebutkan pula oleh Sri Maryati: " .... masyarakat masih enggan untuk memeriksakan dirinya tes HIV/AIDS dengan berbagai alasan."
Tidak semua orang harus tes HIV karena tidak semua orang melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Maka, bukan karena enggam, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku dirinya karena selama ini informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV tidak konkret. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Disebutkan pula: ” .... pemeriksaan secara gratis masih kurang diminati karena umumnya pengidap HIV/AIDS merasa malu dan takut.” Ini tidak tidak akurat karena banyak orang yang tidak menyadari perilaku dirinya berisiko tertular HIV karena informasi yang mereka terima selama ini tidak konkret.
Selama Pemkot Cirebon tetap menampik praktek pelacuran, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di wilayah Kota Cirebon. Kelak akan terjadi
‘ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H