Biar pun HIV/AIDS merupakan fakta medis, tapi langkah-langkah penanggulangannya justru dilakukan dengan cara-cara yang tidak konkret. Lihat saja di Kendal, Jawa Tengah, ini. Yang jadi sasaran justru pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran Sumberejo, Kaliwungu (278 PSK di Kendal Periksa Kesehatan, kompas.com, 16/2-2012).
Menurut Ketua Resos Sumberjo, Kaliwungu, Kendal, Kasmadi, jika ada PSK yang terdeteksi HIV/AIDS, yang bersangkutan disuruh berhenti melayani tamu.
Kasmadi lupa kalau yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Kemudian laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang, yang menjadi pelanggan PSK akan berisiko pula tertular HIV.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Kendal dilaporkan 216 (kompas.com, 16/2-2012).
Disebutkan bahwa PSK menjalani pemeriksaan kesehatan setiap bulan. Ini tentu saja tidak akan otomatis menemukan PSK yang mengidap HIV/AIDS karena tes HIV erat kaitannya dengan masa jendela (rentang waktu sejak tertular sampai tiga bulan, yaitu masa pembentukan antibody HIV). Artinya, kalau PSK itu menjalani tes HIV bulanan pada masa jendela, maka hasilnya bisa negatif palsu (tes nonreaktif tapi dalam darah sudah ada HIV, tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV di darah yang dites karena yang dicari adalah antibody HIV bukan virus).
Di lokalisasi itu ada 278 PSK. Kalau setiap malam seorang PSK meladeni tiga laki-laki ’hidung belang’, maka satu malam saja sudah ada 834 laki-laki yang berisiko tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.) atau HIV atau dua-duanya sekaligus.
Apakah ada program Pemkab Kendal yang konkret untuk mendeteksi IMS dan HIV di masyarakat?
Kalau tidak ada, maka kasus-kasus IMS dan HIV akan merebak di wilayah Kab Kendal. Salah satu indikatornya adalah kasus IMS dan HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi.
Pemprov Jawa Tengah memang sudah menerbitkan peraturan daerah yaitu Perda No 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Tapi, karena perda ini dirancang dengan pijakan moral maka pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan pun hanya bersifat normatif yang tidak menukik ke akar persoalan (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/13/perda-aids-prov-jawa-tengah-mengabaikan-risiko-penularan-hiv-di-lokasi-pelacuran/).
Dikabarkan Dinas Sosial juga memberi keterampilan kepada para PSK. Tahun 2011 sudah ada PSK yang menjadi karyawan salon dan konveksi. Tapi, tanpa disadari ’posisi’ PSK yang meninggalkan lokalisasi itu akan langsung diisi oleh PSK ’baru’.
Pemberian keterampilan kepada PSK yang sudah dijalankan sejak Orde Baru tidak akan membuahkan hasil karena program yang bersifat top-down. Keterampilan itu bukan pilihan bagi PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Karena di Kendal ada lokalisasi pelacuran, maka ada peluang untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV dari penduduk ke PSK dan sebaliknya. Caranya dengan menerapkan program keharusan memakai kondom bagi laki-laki ’hidung belang’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H