Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menguji Kemampuan Perda AIDS Kota Medan untuk Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS

17 Februari 2012   03:01 Diperbarui: 19 April 2021   11:29 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Pribadi (Syaiful W Harahap)

Sama seperti peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS lain, Perda Kota Medan No 1 Tahun 2012 tanggal 5 Januari 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS hanyalah copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Medan sejak Januari 2006 sampai September 2011 yang 2.755 tentulah angka yang dilaporkan ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (2.755) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 1).

Gambar 1: Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok Pribadi_
Gambar 1: Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok Pribadi_
Celakanya, dalam perda ini tidak ada cara yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Selama ini kasus yang dilaporkan sebagian besar terdeteksi di rumah sakit. Pasien dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS, seperti diare yang terus-menerus, TBC, dll. dianjurkan tes HIV setelah dilakukan konseling untuk mengetahui perilaku pasien tersebut. Ada juga yang terdeteksi bertolak dari anak yang dirawat di rumah sakit. Penyakit pada anak-anak itu mendorong dokter menganjurkan tes HIV. Ketika anak terdeteksi HIV/AIDS, maka ibu dan ayah anak itu pun dianjurkan untuk tes HIV.

Kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta medis, maka pasal-pasal yang ada adalah cara-cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret. Tapi, karena perda ini, seperti juga perda-perda lain, dirancang dengan semangat moralis maka pasal-pasal yang ada pun hanya normatif.

Lihat saja pasal 12 ayat 1: ”Pencegahan merupakan upaya terpadu memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS di masyarakat terutama populasi rentan dan risiko tinggi.”

Caranya? Ya, simak saja di pasal 12 ayat 3 yaitu upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain: (a) pengawasan terhadap tempat hiburan malam, hotel, taman kota, rumah-rumah kos dan lokasi lainnya untuk tidak menjadi tempat prostitusi terselubung; (b) penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada pemilik dan karyawan hotel, tempat-tempat hiburan, rumah-rumah kos dan tempat lainnya yang dianggap berpotensi rentan dan berisiko tinggi; (c) penyuluhan kepada pengusaha warung internet untuk memblokir situs porno.

Ayat (a) menunjukkan pemahaman yang rendah terhadap risiko seseorang tertular dan menularkan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (prostitusi terselubung), tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom). Fakta menunjukkan ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV. Ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV dari suaminya. Di Kota Medan sudah terdeteksi 43 bayi yang mengidap HIV. Berarti ada 43 ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.

Biar pun tidak ada prostitusi di Kota Medan, bisa saja terjadi laki-laki dewasa penduduk Kota Medan tertular HIV di luar Kota Medan atau di luar negeri. Mereka tertular karena melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Laki-laki penduduk Kota Medan yang tertular HIV kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV di Kota Medan (Lihat Gambar 2).

Dok Pribadi (Syaiful W Harahap)
Dok Pribadi (Syaiful W Harahap)
Ayat (b) merupakan tindakan gegabah karena sudah menyamaratakan perilaku seksual banyak orang yaitu pemilik hotel, pemilik rumah kos, dll. Apakah pemilik hotel, bioskop dan rumah kos juga melakukan perilaku beirisko di tempat usahanya?

Tentang ’pemeriksaan kesehatan secara berkala’ juga tidak tepat karena untuk mendeteksi HIV hanya bisa dilakukan dengan tes HIV. Akurasi tes HIV juga terkait dengan masa jendela yaitu rentang waktu sejak tertular HIV sampai tiga bulan. Jika ’pemeriksaan kesehatan secara berkala’ juga termasuk tes HIV, maka kalau yang diperiksa tertular HIV di bawah tiga bulan hasil tes tidak akurat. Hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV), atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif).

Pasal pencegahan dalam perda ini kian mengambang jika disimak ayat (c). Tidak ada kaitan lansung antara situs porno dengan penularan HIV.

Pijakan moral pada perda ini kian kental di pasal 13 ayat 1 huruf d: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang dilakukan melalui memeriksakan diri bagi calon pasangan suami istri.”

Seperti dijelaskan di atas tes HIV erat kaitannya denga masa jendela. Kalau calon pengantin itu tes HIV pada masa jendela, maka hasilnya bisa negatif palsu atau positif palsu.

Kalau hasil tes negatif palsu maka bencana akan terjadi pada pasangan suami istri itu karena mereka tidak menyadari HIV sudah ada di antara mereka.

Sebaliknya, bagi yang hasil tes positif palsu maka pernikahan bisa batal. Padahal, tes itu tidak akurat.

Selain itu tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun tes HIV pasangan itu HIV-negatif itu tidak jaminan selamanya mereka akan HIV-negatif karena bisa saja terjadi di antara mereka melakukan perilaku berisiko setelah menikah. Jika pasangan itu kelak terdeteksi mengidap HIV, maka hasil tes sebelum menikah akan menjadi ’senjata’ bagi mereka untuk saling menyalahkan.

HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahan dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Tapi, karena perda ini bermuatan moral maka pencegahan pun berupa mitos (anggapan yang salah).

Lihat saja di pasal 15 ayat 2 huruf a: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah.” Pasal ini jelas normatif karena secara biologis hubungan seksual bisa dilakukan kapan saja. Lagi pula jika dikaitkan dengan penularan HIV, maka tidak ada kaitan lansung antara penularan HIV dan ’hubungan seksual sebelum menikah’. Penularan HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah bagi yang belum atau sudah menikah.

Di pasal 15 ayat 2 huruf b: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.” Lagi-lagi pasal ini menunjukkan perancang perda ini tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (dengan pasangan yang tidak sah).

Lagi pula belakangan ini muncul kecenderungan ’nikah’ antara laki-laki ’hidung belang’ dengan PSK atau perempuan yang berganti-ganti. Di kawasan Puncak, Jawa Barat, terjadi ’kawin kontrak’ (dengan rentang waktu yang disepakati) antara perempuan lokal dan pendatang dengan ’wisatawan’ dari Timur Tengah. Secara hukum ’nikah’ itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah, tapi risiko penularan HIV tetap bisa terjadi karena perempuan yang ’dinikahi’ adalah orang yang perilakunya berisiko tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan.

Di pasal 15 ayat 2 huruf c: ” Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib menggunakan alat pencegah bagi pasangan yang sah dengan HIV positif.” Persoalannya adalah banyak suami yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV sehingga tidak memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya. Buktinya, sudah ada istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS atau bayi yang dilahirkan dengan HIV/AIDS. Istri tertular HIV dari suaminya, dan ketika istri hamil terjadi pula penularan kepada bayi yang dikandungnya.

Karena pemahaman terhadap HIV/AIDS berpijak pada moral, maka langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pun tidak lagi konkret.

Lihat saja pada bagian peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS di pasal 27. Disebutkan:

”Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui peningkatan ketahanan gama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhadap ODHA.”

”Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui pengembangan perilaku pola hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga.”

Cara yang ditawarkan perda ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penularan HIV. Tidak ada kaitan langsung antara ’ketahanan agama dan keluarga’ dengan penularan HIV. Pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV karena tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga.

Apakah istri-istri yang tertular HIV dari suaminya terjadi karena mereka tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga? Begitu pula dengan orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, alat-alat kesehatan dan jarum suntik.

Begitu pula dengan ’perilaku pola hidup sehat’ sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Justru orang-orang yang tidak sehat (tidak bisa melakukan hubungan seksual) bisa terhindar dari penularan HIV melalui hubungan seksual.

Ilustrasi (Sumber: doctor.ndtv.com)
Ilustrasi (Sumber: doctor.ndtv.com)
Biar pun informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banjir, tapi tetap saja ada yang mengabaikan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Seperti pada perda ini. Lebih dari 90 persen kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV.

Tapi, dalam perda ini ada larangan hubungan seksual bagi orang yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV. Di pasal 31 ayat 1 huruf a disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain kecuali dengan pasangannya yang telah diberitahu tentang keadaan infeksi HIV dan AIDS dan secara sukarela menerima risiko tersebut.”

Malarang seseorang melakukan hubungan seksual tentulah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan pengidap HIV/AIDS, maka ada cara yang dapat dilakukan agar tidak terjadi penularan yaitu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Setelah menyibak pasal-pasal dalam perda ini, maka perda ini tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV, terutama mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan PSK, karena tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara mencegah HIV melalui perilaku berisiko.

Baca juga: Perda AIDS Kota Medan yang Kelak (Akan) Sia-sia dan Ranperda AIDS Kota Medan: Tidak ada Pasal Penanggulangan yang Konkret

Kalau saja yang merancang perda ini mau mempelajari perda yang sudah ada yaitu Perda AIDS Kab Serdang Bedagai dan Perda AIDS Kota Tanjungbalai tentulah perda ini tidak hanya sekedar copy-paste.

Baca juga: Ranperda AIDS Kota Medan: Tidak Berkaca ke Kab Serdang Bedagai dan Kota Tanjungbalai

Perda AIDS Kab Serdang Bedagai sendiri juga tidak menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS/

Baca juga: Menguji Kemampuan Perda AIDS Kabupaten Serdang Bedagai dalam Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS

Hal yang menjadi persoalan besar adalah: Apakah Pemko Medan, DPRD Medan, MUI Medan, tokoh masyarakat, tokoh agama, wartawan, LSM, dll. bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk Kota Medan yang akan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di Kota Medan.

Celakanya, perda ini tidak menawarkan cara-cara yang konkret untuk mencegah agar laki-laki dewasa tidak tertular HIV melalui perilaku berisiko. Ya, Pemko Medan tinggal menunggu waktu saja untuk ’memanen’ AIDS karena penduduk yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, tertuama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun