Agaknya, informasi yang akurat tentang HIV/AIDS belum sampai ke wilayah Kab Pacitan, Jawa Timur. Simak pernyaaan ini: “Sedangkan penderita yang teridikasi pada awal Juli lalu, seorang perempuan berusia 22 tahun asal Kecamatan Tulakan, kini menjalani perawatan intensif di RSUD Pacitan.” (Gawat, Jumlah Penderita HIV/AIDS Meningkat, jurnalberita.com, 2/8-2011)
Pernyataan itu mengesankan perempuan tsb. dirawat karena HIV/AIDS. Ini menyesatkan. Seorang odha (orang dengan HIV/AIDS) yang menjalani perawatan (intensif) di rumah sakit adalah karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular HIV antara 5-15 tahun) disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Maka, kematian pada odha pun bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena infeksi oportunistik. Celakanya, dalam berita tentang kematian odha jarang disebutkan penyakit penyebab kematian odha tsb. sehingga ada kesan odha mati karena HIV atau AIDS.
Sampai Juli 2011 kasus kumulaitf HIV/AIDS di Kab Pacitan 12 dengan 5 kematian.
Lagi-lagi angka-angka terkait HIV/AIDS tidak dijabarkan dalam ranah epidemi HIV sebagai realitas sosial sehingga angka-angka itu tidak memberikan gambaran utuh tentang penyebaran HIV/AIDS. Kematian pada odha terjadi di masa AIDS yaitu setelah tertular HIV antara 5-15 tahun.
Pada rentang waktu itu tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sehingga 5 yang mati itu tidak menyadari bahwa mereka sudah mengidap HIV. Akibatnya, sejak tertular sampai terdeteksi HIV/AIDS mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Kalau yang 5 itu mempunyai pasangan, seperti istri atau suami, maka sudah ada lagi 5 penduduk Paciran yang berisiko tertular HIV. Jumlah penduduk yang berisiko tertular HIV kian banyak kalau di antara yang 5 itu ada yang menjadi pekerja seks komersial (PSK). Seorang PSK rata-rata meladeni 3 ’tamu’ yaitu laki-laki ’hidung belang’, maka sebelum seorang PSK mati maka sudah 3.600 – 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV (1 PSK x 3 laki-laki/malamx 20 hari/bulan x 12 bulan x 5 tahun atau 15 tahun).
Dari kasus yang baru terdeteksi disebutkan oleh Kepala Dinkes Pacitan, dr Hendra Purwaka, salah satu di antaranya seorang PSK yang ’praktek’ di luar Pacitan. Biar pun dia ’praktek’ di luar Pacitan ada kemungkinan suami atau pacarnya penduduk Pacitan. Suami atau pacar PSK tsb. akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Paciran, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, kalau PSK itu kembali ke luar Pacitan untuk ’praktek’.
Disebutkan oleh dr Hendra: “Perlu ada upaya preventif seluruh warga Pacitan, jadi tak hanya fokus pada 2 kecamatan tersebut.”
Tidak semua orang berisiko tertular atau menularkan HIV sehingga upaya pencegahan lebih ditujukan kepada mata rantai penyebaran HIV.
Mereka yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kab Pacitan atau di luar wilayah.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai (a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai.
Masih menurut Hendra: “HIV/AIDS dapat dicegah, asalkan menerapkan pola hidup bersih. .... ” Ini merupakan mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung antara ’pola hidup bersih’ dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Pernyataan itu pun menyuburkan stigma (pemberian cap buruk) dan mendorong masyarakat melakukan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap odha karena pernyataan itu mengesankan odha tertular HIV karena pola hidupnya tidak bersih. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H