* Tidak Ada Program Pencegahan HIV dari Ibu ke Bayi
Lagi-lagi perempuan, dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga atau istri, dijadikan sebagai ‘kambing hitam’ terkait dengan kasus 18 balita yang terdeteksi HIV/AIDS di Kabuparen Jayapura, Prov Papua.
Lihatlah pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kab Jayapura, Purnomo, ini: “ …. masih adanya balita mengidap HIV/AIDS karena masyarakat termasuk ibu yang sedang mengandung takut memeriksakan diri ke rumah sakit atau puskesmas terdekat yang sudah dilengkapi dengan alat VCT.” (2011, Belasan Balita di Papua Positif HIV/AIDS, liputan6.com, 7/1-2012). Berita yang sama juga ada di republika.co.id dan antaranews.com.
Pernyataan itu menyudutkan perempuan, dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga.
Pertama, ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV dari suami mereka.
Kedua, ibu-ibu rumah tangga yang hamil itu tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.
Ketiga, ibu-ibu yang hamil tidak takut memeriksakan diri, tapi mereka tidak mengetahui kalau mereka sudah mengidap HIV/AIDS.
Tiga hal itu luput dari perhatian. Bahkan, keterangan Purnomo dalam berita itu sama sekali tidak menyinggung perilaku suami-suami yang menyebabkan ibu-ibu hamil itu mengidap HIV/AIDS.
Dalam pertanyaan disebutkan “ …. puskesmas terdekat yang sudah dilengkapi dengan alat VCT”. Ini tidak akurat karena VCT adalah sistem yaitu cara tes HIV yang dilakukan secara sukarela dengan konseling. Di klinik VCT yang ada adalah alat untuk melakukan tes HIV.
Disebutkan pula: “ .... seandainya pada saat mengandung para ibu hamil memeriksakan diri secara lengkap termasuk HIV/AIDS, anak yang terinfeksi bisa diminimalisir dengan penanganan khusus dari tenaga medis.”
Persoalannya adalah ibu-ibu hamil itu tidak menyadari kalau mereka sudah tertular HIV. Ini terjadi karena suami-suami mereka tidak jujur terkait dengan perilaku seksual mereka. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah, dalam hal ini Pemkab Jayapura dan Pemprov Papua dalam menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat. Seperti yang ada dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS Kab Jayapura sama sekali tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/30/di-kab-jayapura-papua-aids-lebih-banyak-pada-perempuan/).
Menurut Purnomo: “ .... pihaknya sangat mengimbau seluruh masyarakat di daerah ini termasuk ibu rumah tangga agar secara sadar memeriksakan diri ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.”
Anjuran ini menyamaratakan perilaku semua orang. Ini tidak etis karena tidak semua orang harus menjalani tes HIV.
Lalu, siapa saja, sih, yang harus menjalani tes HIV?
Mereka itu adalah:
(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Jayapura, di luar Kab Jayapuara atau di luar negeri.
(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Jayapura, di luar Kab Jayapuara atau di luar negeri.
(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Jayapura, di luar Kab Jayapuara atau di luar negeri.
Informasi inilah yang tidak pernah sampai secara komprehensif kepada masyarakat.
Penyampaian informasi yang akurat kian penting karena sampai November 2011 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 796 yang terdiri atas 335 HIVdan 461 AIDS. Laki-laki 41,5 persen dan perempuan 466 58,5 persen.
Dalam perda pun tidak ada pasal yang mendorong orang-orang yang perilakunya berisiko untuk menjalani tes HIV.
Jika Pemkab Jayapura ingin ’menyelamatkan’ generasi baru, maka yang perlu dilakukan adalah membuat aturan agar setiap perempuan hamil menjalani tes HIV sesuai dengan standar tes HIV yang baku.
Inilah langkah konkret yang bisa dilakukan agar masa depan rakyat di Kab Jayapura bisa diselematkan dari infeksi HIV/AIDS.
Disebutkan pula oleh Purnomo: ” .... Karena jika terinfeksi tidak hanya menggerogoti tubuh sang ibu tapi juga menular ke anak." Pernyataan ini pun ngawur karena HIV tidak menggerogoti tubuh. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bukan karena HIV atau AIDS, tapi penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Selama Pemkab Jayapura tidak menanggulangi HIV/AIDS dengan cara-cara yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi.
Maka, Pemkab Jayapura tinggal menunggu waktu untuk ’panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV yang pada gilirannya menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H