Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Kode Pos di Indonesia Tidak Merakyat?

14 Agustus 2011   02:28 Diperbarui: 5 April 2023   05:13 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biar pun kode pos untuk wilayah Indonesia sudah diterapkan oleh PT Pos Indonesia sejak tahun 1997, tapi sampai sekarang kode pos tetap tidak menjadi bagian penting bagi sebagian besar orang dalam menulis alamat yang dituju dan alamat pengirim dalam kegiatan surat-menyurat.

Tentu timbul pertanyaan: Mengapa kode pos di Indonesia tidak merakyat?

Jawaban yang muncul pun akan bermacam-macam.

Satu hal yang luput dari perhatian adalah tentang pemberian nama daerah pada kode pos ternyata menghilangkan nama tempat yang secara sosiologis berkembang sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Hal ini sangat berarti bagi masyarakat, terutama di masyarakat yang tetap memegang adapt-istiadat.

Coba simak fakta ini. Di Prov Sumatara Utara ada daerah baru tingkat kabupaten yaitu Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Daerah ini berbatasan dengan Prov Sumatera Barat. Ibu Kota Madina memang Panyabungan. Tapi, secara sosilogis terkait dengan budaya loka, Kotanopan, sebuah kecamatan di Madina, lebih ‘tua’ dari Panyabungan.

Celakanya, PT Pos Indonesia menghilangkan nama kota Kotanopan dalam penulisan kode pos. Alamat-alamat di kota kecamatan Kotanopan ditulis dengan kode pos: Panyabungan. 

Tentu saja hal itu merugikan komunitas masyarakat Kotanopan. Selain nama daerah mereka yang sudah melekat dengan budaya mereka pun harus ’tunduk’ kepada daerah yang lebih ’muda’. Ini membuat komunitas ’Mandailing Julu’ tidak nyaman karena mereka harus mengilangkan identitas budayanya dan menggantikannya dengan identitas budaya lain. 

Maka, sebuah alamat di Kotanopan, misalnya: Jalan Sudirman No 1. Jika merujuk ke kode pos yang ditetapkan PT Pos Indonesia, maka alamat itu ditulis: Mr. X, Jalan Sudirman No 1, Panyabungan XXXXX. Nama Kotanopan hilang. Pegawai pos tahu alamat dengan kode pos tsb. ada di Kotanopan.

Tapi, masyarakat tentu tidak tahu persis alamat Mr X, Jalan Sudiman No 1 Panyabungan XXXXX. Lagi pula terlalu naif kalau setiap orang harus menghafal semua kode pos.

Hal yang sama juga terjadi di semua daerah. Di wilayah DI Yogyakarta, misalnya, semua alamat di DI Yogyakarta ditulis sebagai: Yogyakarta XXXXX.

Agaknya, cantelan kode pos dipatok kepada ibu kota kabupaten. Nah, di Indonesia ada ratusan kabupaten. Jika tidak ada provinsi, maka amat susah mengenali (nama) kabupaten tsb. Sedangkan provinsi lebih umum dikenal. Bahkan, dalam bentuk singkatan.

Alamat di Amerika Serikat, misalnya tetap menyebutkan nama daerah kemudian nama kota serta nama negara bagian dalam dua huruf yang diikuti dengan angka sebagai kode pos. Contohnya: Masjid At-Tawhid, 111 Oak St, Springfield, MA 01109 (MA adalah kode negara bagian Massachusetts).

Maka, diperlukan cara penulisan alamat yang tidak menghilangkan identitas budaya daerah dan mudah pula dikenali. Nama desa atau kecamatan amat erat kaitannya secara sosiologis dengan komunitas dari tempat tsb. 

Ada beberapa kemungkinan terkait dengan alamat. Ada nama kampung atau desa yang tidak perlu menyebut kecamatan karena sudah dikenal di wilayah di sebuah wilayah kabupaten atau kota. Ada pula desa yang baru bisa dikenal jika ada nama kecamatan dan kabupaten atau kota tempat desa itu.

Ini sebuah contoh alamat yang tidak perlu menyebutkan kecamatannya karena kelurahan ini terletak di kecamatan yang sama dengan tambahan mata angin. Misalnya, Jalan Perintis Kemerdekaan No. XX, Padangsidimpuan, SMU atau Sumut XXXXX.

Maka, penulisan alamat terkait dengan ’popularitas’ nama sebuah tempat, baik tingkat kampung, desa, kecamatan atau kabupaten. 

Untuk mendorong masyarakat memakai kode pos, maka nama daerah yang erat kaitannya secara sosiologis dengan masyarakat harus tetap dicantumkan dalam penulisan alamat dengan kode pos. ***[Syaiful W. Harahap]*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun