Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik Lebaran The Killing Fields yang Berulang Setiap Tahun

29 Agustus 2011   01:05 Diperbarui: 7 April 2023   05:34 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: otomotifnet.gridoto.com)

Mudik Lebaran tahun ini tetap saja menjadi ‘neraka’ bagi pengguna jalan raya. Dari H-7 (24/8) sampai H-3 (28/8) dilaporkan terjadi 1.800 kecelakan lalu lintas yang memakan korban 270 tewas dan 463 luka-luka (news ticker, MetroTV, 20/8-2011).

Di Indonesia kematian karena kecelakan lalu lintas di jalan raya merupakan pembunuh nomor 1 setelah AIDS dan TBC. Data Kepolisian RI menunjukkan tahun 2010 merenggut 31.186 nyawa akibat kecelakaan lalu lintas. Artinya, setiap hari 84 orang meninggal setiap hari atau setiap jam 3-4 orang meregang nyawa di jalanan (www.primaironline.com, 10/5-2011).

Dalam lima hari saja 270 nyawa melayang di jalan raya. Tapi, angka-angka itu tidak banyak berarti bagi penduduk karena mudik terus berlanjut. Kecelakan terutama menimpa pemudik dengan sepeda motor. 

Diperkirakan setiap tahun terjadi peningkatan pemudik dengan sepeda motor. Tahun 2010, misalnya, diperkirakan 3,6 juta sepeda motor akan ditunggangi pemudik. Proses pembelian sepeda motor yang kian mudah, hanya dengan KTP dan KK, melalui kredit mendorong banyak orang untuk memiliki sepeda motor.

Tahun 2009 kecelakan lalu linta merenggut nyawa 702 pemudik. Sedangkan tahun 2010 terjadi 1.397 kecelakaan, dengan korban tewas 243, luka berat 318 dan 619 luka ringan. 

Kematian di jalan raya bagaikan ’pembunuh bisu’ yang terus terjadi setiap tahun. Kematian di jalan raya bagaikan ’ladang pembantaian’ yang luput dari perhatian.

Ada kesan kematian di jalan raya dianggap sebagai peristiwa kematian biasa yang sudah menjadi bagian dari hidup. Ini terjadi karena kebiasaan mudik dikait-kaitkan dengan ’budaya’ dengan latar belakang yang normatif.

Ada beberapa alasan pemudik menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi. 

Dikabarkan pemudik memakai sepeda motor karena sarana transportasi umum tidak memadai. Tapi, banyak pemudik yang naik moda transportasi lain, seperti kereta api dan kapal laut tapi mereka tetap membawa pulang sepeda motor. Alasan mereka adalah sepeda motor dipakai untuk kendaraan di kampung. 

Di kampung halaman tentu saja ada angkutan umum, seperti bus, angkot dan ojek. Lalu, mengapa tetap memaksakan diri mudik dengan naik motor?

Dalam kaitan ini pemerintah harus melakukan intervensi yang konkret yaitu menyediakan moda transprotasi umum yang massal agar bisa mengangkut pemudik dari berbagai kota ke tujuan utama. Dalam kaitan ini manajemen transportasi umum memegang peranan yang penting.

Selain itu pemerintah pun perlu pula memberikan pencerahan bahwa pulang kampung tidak harus dilakukan pada lebaran. Pemerintah sudah memberikan ruang dan waktu yang lebih banyak yaitu melalui program ’cuti bersama’ pada hari-hari libur keagamaan dan nasional. 

Dalam kaitan ini pemerintah harus menyediakan transportasi massal pada hari-hari libur nasional, liburan sekolah, dll. yang dijadikan sebagai ajang ’cuti bersama’.

Jika pemerintah memberikan ruang bagi kaum migran yang mencari nafkah di kota-kota besar untuk pulang kampung dalam berbagai kesempatan sepanjang tahun, maka ini merupakan salah satu langkah konkret untuk menurunkan kematian yang sia-sia di jalan raya.

Lagi pula kalau semua kaum migran serempak pulang kampung, maka kesinambungan persaudaraan hanya terjadi sekali setahun. Begitu pula dengan ’aliran’ uang hanya pada saat lebaran.

Niat untuk bersalam-salaman dengan keluarga, handai tolan, teman dan sahabat di kampung halaman justru berbelok arah ke kuburan dengan meninggalkan luka dan duka serta kerugian materi. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun