Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Pergolakan Rakyat Tanah Papua Hanya dengan Sudut Pandang

23 Oktober 2011   03:49 Diperbarui: 29 Januari 2024   13:25 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Menunggu Jalan Raya Trans Tanah Papua

Karena ‘perjuangan’ saudara kita di Tanah Papua selalu dilihat dengan sudut pandang, maka kita sering tidak empati kepada mereka. Bahkan, kita cenderung menghakimi dan menghukum mereka sebagai ‘pembangkang’.

Padahal, yang mereka perjuangkan adalah hak, seperti layaknya masyarakat di kawasan barat dan tengah. Persoalan yang mereka hadapi sehari-hari pun luput dari perhatian karena kita selalu melihat mereka dengan sudut pandang ‘Jawa’ (baca: NKRI). Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertumpu pada pemerintahan yang sentralistis yaitu di Pulau Jawa.

Kalau saja kita melihat Tanah Papua dengan perspektif, tentulah kita tidak akan berempati. Sebaliknya, jika kita melihat Tanah Papua dengan memakai sudut pandang maka sikap yang timbul pun bisa antipati.

Lihat saja pembangunan jalan raya yang akan merajut kota-kota di Pulau Jawa dengan jaringan jalan bebas hambatan (tol). Padahal, semua kota di Pulau Jawa sudah dihubungkan dengan jalan aspal, sebagian besar dengan hotmix.

Di Pulau Sumatera dibangun jalur lintas Sumatera (Jalinsu) Timur dan Barat yang menghubunkan kota-kota mulai dari Bakauheni (Lampung) sampai Banda Aceh (Aceh) melalui pantai barat dan pantai timur.

Kota-kota di Pulau Kalimantan pun dirancang pula akan dihubungkan dengan jaringan jalan raya yang dikenal sebagai Trans Kalimantan.

Pulau Sulawesi pun tidak ditinggalkan. Jaringan jalan raya Trans Sulawesi sudah menembuh jalur darat dari Makassar (Sulawesi Selatan) sampai ke Manado (Sulawesi Utara).

Nah, bagaimana dengan di Tanah Papua?

Orang Papua memang bernasib sial. Mereka diabaikan dalam kaitan jalan raya. Buktinya, tidak semua kota di pesisir utara pulau itu tidak bisa dilalui melalui jalur darat. 

Koq bisa? Iya, bisalah. Soalnya, pemerintahan yang sentralistik selama ini memusatkan pembangunan jalan raya di P. Jawa dan P. Sumatera. Bahkan, pulau kecil dengan pontensi mini pun, seperti P. Madura, dihubungkan dengan jembatan dari Surabaya yang dikenal sebagai jembatan Suramadu.

Kalau saja pemerintah tidak mengabaikan pembangunan jalan raya di Tanah Papua tentulah penduduk Papua akan leluasa bepergian dari satu kota ke kota lain. Tapi, hal itu hanya mimpi bagi orang Papua.

Lihat saja jalur lintas di pesisir utara mulai dari Sorong – Manokwari – Nabire - (ke selatan ke Timika) - Sarmi-Jayapura tidak dihubungkan dengan jalur jalan raya seperti layaknya di P. Jawa atau P. Sumatera. 

Maka, orang-orang Papua pun hanya bisa bepergian dengan kapal terbang atau kapal laut. Dari Sorong ke Manokwari, misalnya, kalau jalan darat jaraknya kira-kira dari Jakarta ke Semarang. Ongkos bus dari Jakarta-Semarang yaitu bus regular Rp 55.000 dan bus AC sekitar Rp 175.000. Tapi, penduduk Sorong yang akan ke Manokwari harus naik kapal laut atau kapal terbang. Ongkos kapal laut Rp 120.000 , dan ongkos kapal terbang antara Rp 300.000 – Rp 500.000. 

Penduduk di P. Jawa atau P. Sumatera bisa naik motor dari satu kota ke kota lain. Tapi, orang Papua yang memiliki motor hanya bisa gigit jari karena jaringan jalan raya tidak mendukung.

Kalau saja pemerintah mencicil pembangunan jalan raya sejak awal Orde Baru, maka jalur pesisir pantai utara pulau itu sudah bisa dihubungkan dengan ’pasar hitam’ (istilah di Medan untuk menyebut jalan raya beraspal). 

Kehidupan alamiah penduduk, terutama di pegunungan yang memakan umbi-umbian dan pesisir yang memakan sagu, pun rusak karena kehadiran transmigrasi yang membawa beras sebagai makanan pokok. Kelaparan pun sering terjadi karena penduduk tidak lagi menerapkan pola bercocok-tanam yang sudah menyelamatkan kehidupan mereka sebelum beras masuk.

Baca juga:  Antisipasi (Tragedi) Kelaparan di Tanah Papua

’Nasib’ penduduk Tanah Papua kian buruk karena pemerintah kabupaten dan kota di Tanah Papua mementingkan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola. Semua kabupaten dan kota di Tanah Papua mempunyai klub sepak bola.

Baca juga: Dicari: Ketua Umum PSSI yang Tidak (akan) Memakai Dana APBD

Pada saat yang sama (sarana) pendidikan dan kesehatan berantakan. Penduduk banyak yang tertular HIV. Celakanya, pemimpin di daerah itu tidak bisa menerapkan langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Baca juga: AIDS di Prov Papua: Ditanggulangi dengan Sirkumsisi

Eksploitasi hasil bumi, hutan dan tambang, ternyata tidak memberikan manfaat yang riil kepada kemajuan orang Papua secara umum. 

Perjuangan rakyat Tanah Papua sudah masuk ranah internasional karena terkait dengan pengabaian hak-hak yang manusiawi yang sangat mendasar, seperti pendidikan, politik, ekonomi, kesehatan dll. 

Ketika Kota Manokwari merancang peraturan daerah (perda) sebagai ’Kota Injil’ penolakan pun muncul, tapi tanpa kita sadari kita sudah bertinfdak diskriminatif dengan memberikan syariat Islam kepada Aceh. 

Selama Tanah Papua hanya dilihat dengan sudut pandang tertentu, maka selama itu pula pergolakan akan terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun