“Pak, tambah sedikit lagi.” Itu diserukan seorang pedagang di kaki lima di sisi Jalan Malioboro di Yogyakarta sambil memanggil-manggil seorang laki-laki yang semula menawar dompet.
Di sepanjang kaki lima Jalan Malioboro, Yogyakarta, terutama di sisi barat, berjejer pedagang barang kerajinan: tas, dompet, lukisan, hiasan, kaos (T-Shirt), dll. Malioboro menjadi ’sawah ladang’ bagi banyak orang, baik lokal maupun pedatang.
Ada dua ciri khas pedagang di sana.
Pertama, pedagang yang menempelkan label harga.
Kedua, pedagang yang tidak menempelkan label harga.
Ternyata, pedagang kelompok pertama umumnya penduduk lokal. Koq pakai label, Mbak? ”Ya, harga pas saja. Repot tawar-menawar,” kata seorang pedagang K-5 di sana. Memang, di kala liburan kaki lima Malioboro sangat padat karena pelancong datang dari berbagai darah dan luar negeri.
Maka, ada yang memberi label harga kaos oblong Rp 12.500, ada Rp 13.000 dan ada pula dengan harga Rp 15.000. Ini menunjukkan harga kaos di sana hanya Rp 12.500 karena dengan harga ini mereka sudah memperoleh untung antara Rp 1.000 – Rp 1.500.
Sebuah tas ’kulit’, misalnya, ditawarkan Rp 90.000. Berapa harga tas itu dari perajin?
”Modalnya, Rp 30.000, Pak,” kata seorang pedagang yang mulai membuka ’warung’-nya pukul 06.00. Nah, kalau tidak tahu harga yang pantas tentulah tas itu dibeli jauh diatas modal melalui tawar-menawar yang alot.
Umar, 32 tahun, misalnya. meninggalkan P Madura, Jatim, untuk mengadu untung di kaki lima Malioboro, Dia mengaku sudah belasan tahun di kaki lima Malioboro. Umar sendiri memilih untuk meladeni tawar-menawar walaupun melelahkan.