Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money

Harga Berlabel dan Tidak Berlabel di Malioboro Yogyakarta

21 Juli 2011   00:11 Diperbarui: 3 April 2021   14:18 7811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagi hari di Malioboro, Yogyakarta. Pedang K-5 mulai menyiapkan dagangan (Dok Pribadi)

“Pak, tambah sedikit lagi.” Itu diserukan seorang pedagang di kaki lima di sisi Jalan Malioboro di Yogyakarta sambil memanggil-manggil seorang laki-laki yang semula menawar dompet.

Di sepanjang kaki lima Jalan Malioboro, Yogyakarta, terutama di sisi barat, berjejer pedagang barang kerajinan: tas, dompet, lukisan, hiasan, kaos (T-Shirt), dll. Malioboro menjadi ’sawah ladang’ bagi banyak orang, baik lokal maupun pedatang.

Ada dua ciri khas pedagang di sana.

Pertama, pedagang yang menempelkan label harga.

Kedua, pedagang yang tidak menempelkan label harga.

Ternyata, pedagang kelompok pertama umumnya penduduk lokal. Koq pakai label, Mbak? ”Ya, harga pas saja. Repot tawar-menawar,” kata seorang pedagang K-5 di sana. Memang, di kala liburan kaki lima Malioboro sangat padat karena pelancong datang dari berbagai darah dan luar negeri.

Maka, ada yang memberi label harga kaos oblong Rp 12.500, ada Rp 13.000 dan ada pula dengan harga Rp 15.000. Ini menunjukkan harga kaos di sana hanya Rp 12.500 karena dengan harga ini mereka sudah memperoleh untung antara Rp 1.000 – Rp 1.500.

Pagi hari di Malioboro, Yogyakarta. Pedang K-5 mulai menyiapkan dagangan (Dok Pribadi)
Pagi hari di Malioboro, Yogyakarta. Pedang K-5 mulai menyiapkan dagangan (Dok Pribadi)
Tapi, pedagang kelompok kedua umumnya pendatang dari luar kota, seperti dari Sumbar, Madura, dll. tidak memakai label harga. Mereka menawarkan kaos seharga Rp 12.500 dengan harga rata-rata Rp 30.000. Nah, tawar-menawar terjadi. Celakanya, harga bisa jauh di atas Rp 12.500.

Sebuah tas ’kulit’, misalnya, ditawarkan Rp 90.000. Berapa harga tas itu dari perajin?

”Modalnya, Rp 30.000, Pak,” kata seorang pedagang yang mulai membuka ’warung’-nya pukul 06.00. Nah, kalau tidak tahu harga yang pantas tentulah tas itu dibeli jauh diatas modal melalui tawar-menawar yang alot.

Umar, 32 tahun, misalnya. meninggalkan P Madura, Jatim, untuk mengadu untung di kaki lima Malioboro, Dia mengaku sudah belasan tahun di kaki lima Malioboro. Umar sendiri memilih untuk meladeni tawar-menawar walaupun melelahkan.

Melihat gelagat cara-cara perdagangan dengan tawar-menawar di Malioboro yang tidak bisa dilakukan oleh pedagang lokal, maka pedagang lokal perlu dilatih agar bisa menawarkan barang dengan cara tawar-menawar. Kabarnya, pedagang lokal yang menempelkan harga kurang peminat karena pelancong lebih memilih barang yang dibeli dengan tawar-menawar.

Jika pedagang lokal tersisih tentu bisa membuka ruang untuk gesekan di ranah sosial. Awal tahun 1980-an sudah ada bibit-bibit pergesekan antara pedagang lokal dengan pedagang pendatang.

Ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi instansi terkait di Yogyakarta. Bisa juga menjadi tantangan untuk LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat.

Dengan bekal pelatihan diharapkan pedagang lokal bisa bersaing melalui tawar-menawar sehingga tidak tersisih dalam persaingan di kampung halamannya sendiri. *** [Syaiful W. HARAHAP] *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun