Praktek-praktek pelacuran (prostitusi) di berbagai tempat (lokasi), seperti di warung remang-remang, barak-barak, losmen, hotel melati, hotel berbintang, dll. ternyata tetap tidak diakui banyak kalangan di berbagai daerah. Bahkan, ada daerah yang membuat peraturan daerah (Perda) yang melarang pelacuran, tapi mengabaikan praktek pelacuran.
Di wilayah Kab Cirebon, Jawa Barat, misalnya, pejabat, tokoh agama dan masyarakat setempat tidak mengakui lokasi praktek pelacuran biar pun kasat mata. Ternyata di Kab Cirebon lokasi praktek pelacuran ’diakui’, tapi dengan sebutan lokasi ’esek-esek’.
”Pejabat di sini tidak menerima kalau disebut ada lokasi pelacuran,” kata seorang aktivis kepada penulis di sela-sela pelatihan wartawan di Sumber, Kab Cirebon (13/7/2011) yang diselenggarakan oleh KPA Kab Cirebon dengan dukungan MRO KPAP Jabar/HCPI-AusAID.
Biar pun tidak mengakui pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK), tapi kehadiran PSK melalui praktek pelacuran di wilayah Kab Cirebon akan mendorong penyebaran HIV di wilayah itu. Ini terjadi karena praktek pelacuran tidak bisa dikontrol melalui program pemakaian kondom bagi laki-laki ’hidung belang’.
Data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kab Cirebon, jumlah HIV-AIDS hingga tahun 2010 tercatat 531 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 299 merupakan kasus HIV-AIDS di lembaga pemasyarakatan dan sisanya 232 di masyarakat umum.” (Kasus HIV-AIDS Ada di Hampir Semua Kecamatan, Harian ”Kabar Cirebon,” 14/7-2010).
Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS 232 untuk wilayah Kab Cirebon tentulah tidak bisa lagi dianggap remeh, apalagi kegiatan pelacuran yang tinggi di wilayah itu. Sebaliknya, pemakaian kondom sangat rendah.
Risiko tertular HIV dari PSK sangat besar karena tidak ada mekanisme yang bisa memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika ngamar dengan PSK. Diperkirakan ada 3.000 PSK yang ’beroperasi’ di wilayah Kab Cirebon dengan pelanggan 14.000. Sebagian besar pelanggan PSK ini adalah penduduk Kab Cirebon (”Pikiran Rakyat”,13/07-2011).
Posisi wilayah Kab Cirebon yang bersentuhan langsung dengan jalur pantura mendorong praktek-praktek pelacuran. Jalur utama transportasi darat yang menghubungan ujung barat ke ujung timur P Jawa itu merupakan ’lahan’ subur lokasi pelacuran. Akibatnya, wilayah Kab Cirebon yang ada di jalur pantura tidak bisa lepas dari praktek pelacuran.
Salah satu langkah yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ’hidung belang’ adalah mewajibkan pemakaian kondom. Tapi, ini bisa dilakukan jika praktek pelacuran dilokalisir melalui regulasi. Namun, seperti dikemukakan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang juga Kabag Kesra Setda Kab. Cirebon, H. Deni Agustin, berbagai kalangan belum sepakat untuk melokalisir pelacuran.
Penyebaran HIV di Kab Cirebon akan sampai ke istri yang selanjutkan ke anak-anak karena 51 persen kasus HIV/AIDS di Kab Cirebon terdeteksi pada laki-laki yang menikah. Melihat data ini tentulah tidak ada lagi pilihan bagi Pemkab Cirebon selain menerapkan langkah-langkah yang konkret untuk memutus mata rantai penyeban HIV antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Dengan melokalisir pelacuran maka kegiatan di lokasi tersebut dapat dipantau agar laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom setiap kali ngamar dengan PSK. Program ini akan memutus mata ranta penyebaran HIV/AIDS dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya. Penularan HIV di Kab Cirebon 69 persen terjadi melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom, terutama dengan PSK.
Program wajib kondom bagi laki-laki ’hidung belang’ di lokalisasi pelacuran sudah berhasil di Thailand yang ditunjukkan dengan penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H