Kehadiran situs web nasional turut pula meramaikan pemberitaan seputar HIV/AIDS, tetapi tetap saja ada berita yang tidak fair dan objektif. Hal ini dapat dilihat dalam berita-berita di situs detik.com.
Pengertian terinfeksi HIV atau HIV positif dan sudah mencapai masa AIDS pun sering rancu. Pada berita Penderita Aids Irja Terbesar di RI (20/1-2000) disebutkan: "...yang terdiri 207 tergolong kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan 90 kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (Aids)." Yang lebih tepat: 207 merupakan kasus HIV positif dan 90 sudah mencapai masa AIDS. Artinya, semua kasus tersebut HIV positif tetapi sebagian (90) infeksi HIV sudah menunjukkan gejala-gejala minor dan mayor AIDS. Sebagai akronim AIDS ditulis dalam huruf besar.
Pada berita Gay Yogyakarta Gelar Lesehan AIDS di Benteng Vredeburg (22/5-2000) disebutkan ODA (Orang dengan HIV-AIDS). Yang benar adalah Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Istilah ini diperkenalkan oleh Prof. Dr. Anton M. Moeliono, ketika itu Kepala Pusat Bahasa.
Begitu pula kondom dalam Berantas AIDS, Kondom Digalakkan (13/11-1999) ada pernyataan yang tidak pas: "Padahal kondom adalah salah satu cara terjitu untuk menghindari merebaknya penyakit seksual menular (PSM), termasuk AIDS." Busyet. Tidak ada penyakit seks, karena yang dikenal di dunia medis adalah penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seks tanpa kondom, seperti virus hepatitis B (tulisan tebal untuk menunjukkan hepatitis B juga merupakan PMS), GO, sifilis dan HIV (bukan AIDS).
Infeksi PMS dan HIV bukan terjadi karena berhubungan seks dengan pasangan yang belum dikenal atau pekerja seks. Berhubungan seks dengan istri atau suami sendiri pun akan terjadi penularan jika salah satu dari pasangan itu mengidap PMS atau HIV dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom. Maka pernyataan Imam Soepardi, Wakil Gubernur Jatim bidang Kesra yang menyebutkan: "...walaupun dia mengetahui bahwa berhubungan seksual dengan pasangan belum dikenal termasuk PSK [pekerja seks komersial], mempunyai risiko yang cukup tinggi tertular PMS, termasuk HIV," sangat tidak tepat.
Di bagian lain berita itu ada lagi kutipan pernyataan Imam Soepardi yang mengatakan: "...ibu rumah tangga pun tak luput dari tertular PMS, yang kemungkinan juga dapat meningkat jadi HIV/AIDS." Karena dalam berita itu pernyataan ini merupakan kutipan langsung tentulah itu pernyataan Imam Soepardi. Sangat disayangkan pejabat tinggi ini memberikan pernyataan yang keliru karena infeksi HIV bukan merupakan peningkatan PMS. Yang jelas jika seseorang mengidap PMS maka risiko terinfeksi HIV melalui hubungan seks tanpa kondom kian besar karena terjadi perlukaan di alat kelamin (ukurannya mikroskopis) akan menjadi pintu masuk HIV.
Dalam berita Konsumsi Kondom Sumut Naik 700% (4/12-1999) disebutkan: "...Indikasi ini menunjukkan mulai adanya kesadaran untuk memakai kondom di kalangan pekerja seks dan pelanggan seks bebas di Sumut." Jadi, tidak ada pelanggannya sehingga orang-orang yang menyalurkan hasrat birahinya kepada pekerja seks bukan pelanggan seks bebas. Mereka lebih pas disebut sebagai konsumen pekerja seks. Maka, pernyataan: "Jumlah yang terbesar menjadi konsumen kondom ini adalah dari kalangan pekerja seks bebas," tidak objektif. Di sini pun jelas wartawan yang menulis berita ini sudah salah kaprah karena pekerja seks hanya mau meladeni tamunya kalau dibayar.
Seks bebas merupakan terjemahan dari free sex. Namun, di kalangan masyarakat Barat sendiri istilah yang ada adalah free love (hidup bersama tanpa ikatan nikah yang sah), yang menjadi cara hidup individu pada komunitas di masyarakat Eropa Barat. Dalam Time: The Random House Dictionary (1980) dan The Advanced Learner's Dictionary of Current English (1973) entry yang ada hanya free love.
Yang perlu diingat free sex juga ada di Tanah Air, tetapi dengan sebutan yang lebih "berbudaya" tetapi bentuknya sama dengan free love. Bahkan, sudah menjadi "budaya" segelintir penduduk Indonesia. Free love di beberapa daerah kita kenal sebagai kumpul kebo, selingkuh, pergundikan (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI gundik berarti istri orang terhormat yang tidak resmi, perempuan piaraan atau bini gelap), selir dan lain-lain. Bahkan, ada pasangan kumpul kebo yang sampai beranak cucu tetap hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah.
Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk menuding gaya hidup free love di Barat sebagai kehidupan yang tidak bermoral karena di sekitar kita sendiri tidak sedikit saudara kita yang menjalankan prinsip hidup free love, walaupun dengan terminologi yang berbeda. ***
[Sumber: Syaiful W. Harahap, Analisis Berita,Newsleter HindarAIDS No. 47, 19 Juni 2000]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H