Penyangkalan terkait dengan perilaku penduduk lokal yang berisiko tertular HIV terus saja terjadi. Lihat saja di Samboja, Kab Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim, ini. Dikabarkan ada empat yang terdeteksi HIV/AIDS, tapi tidak dijelaskan siapa mereka. Namun, dari berita itu ada kesan empat orang itu adalah pekerja seks komersial/PSK (Angka HIV/AIDS Meningkat. Empat Warga Terjangkiti, Penyebaran dari Pendatang, www.metrobalikpapan.co.id, 28/6-2011).
Menurut Staf Promosi Kesehatan Puskesmas Handil Baru, Abdul Wahab, penyebab meningkatnya pasien yang terindikasi HIV/AIDS ini, karena banyaknya warga pendatang yang tinggal di wilayah Samboja. Ini merupakan penyangkalan karena:Apakah Abdul Wahab bisa menjamin penduduk lokal tidak ada yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV?
Kalau jawabannya BISA, maka penyebaran HIV jelas dilakukan oleh pendatang.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada penduduk lokal yang berisiko tertular HIV, tapi tidak terdeteksi.
Abdul Wahab juga mengatakan: “Ya, kita kan tak tahu, apakah warga pendatang tersebut bersih dari HIV/AIDS atau tidak.” Hal yang sama harus dipertanyakan kapada penduduk lokal juga: Apakah semua penduduk lokal, terutama laki-laki dewasa, sudah menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya BELUM, maka tidak bisa dipastikan bahwa semula penduduk lokal, terutama laki-laki dewasa, ’bersih dari HIV/AIDS’.
Di banyak negara, seperti di Afrika, penyangkalan merupakan faktor pendorong penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.
Seperti yang terjadi di Samboja, Kukar ini. Boleh saja PSK yang mengidap HIV tertular dari pendatang, tapi: Apakah bisa dijamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk lokal yang melakukan hubungan seksual dengan PSK?
Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV melalui hubungan seksual dengan PSK di wilayah Kukar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada penduduk lokal yang berisiko tertular HIV dari PSK.
Selain itu: Apakah juga bisa dijamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk lokal yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di luar Kukar? Nah, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada penduduk lokal yang berisiko tertular HIV. Mereka inilah yang menyebarkan HIV di masyarakat lokal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Abdul menyarankan, seharusnya ada pengetatan dari pemkab untuk mencegah penularan penyakit mematikan ini. Sehingga ketika ada warga pendatang yang terinfeksi HIV bisa dicegah terlebih dahulu. Tentu hal ini mustahil. Apakah mungkin Pemkab Kukar melakukan tes HIV kepada setiap laki-laki pendatang yang akan berkencan dengan PSK?
Cara yang konkret dan berhasil sudah dilakukan oleh Thailand melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seskual dengan PSK di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir. Nah, apakah Pemkab Kukar bisa menerapkan cara ini di Samboja?
Itulah cara yang realistis untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk ke PSK dan sebaliknya. Sayang, Abdul Wahab justru meminta Pemkab mencegah laki-laki pendatang yang mengidap HIV masuk ke lokalisasi.
Menurut Abdul Wahab hal itu merupakan “ .... bagian dari upaya agar warga sekitar tidak tertular. Kalau pengembangbiakannya tak diputus, takutnya penyakit ini menular ke siapa saja.”
HIV adalah virus yang terdapat dalam cairan tubuh yaitu darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) sehingga tidak mungkin menulari warga di sekitar lokalisasi. HIV tidak menular kepada siapa saja atau semua orang karena penularannnya hanya melalui: (a) hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik pada pengguna narkoba, dan (c) ASI.
Menurut Plt. Pimpinan Puskesmas Handil Baru, Fouzy Hanifa Hijria, untuk mencegah penyakit HIV pihaknya akan mengoptimalkan penyuluhan tentang bahayanya seks bebas dan narkoba ke warga sekitar.
Lagi-lagi yang diumbar mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara melacur dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui pelacuran bisa terjadi kalau PSK mengidap HIV dan laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom. Kalau PSK tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom.
Pemprov Kaltim sendiri sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak bekerja karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/).
Persoalannya adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya sehingga tetap ada risiko tertular HIV kalau hubungan seksual dilakukan tanpa memakai kondom di dalam atau di luar nikah.
Jika Pemkab Kukar menepuk dada karena tidak ada penduduk lokal (asli) yang terdeteksi HIV/AIDS, maka hal itu akan menjadi bumerang karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di kalangan penduduk lokal. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H