Informasi yang tidak akurat akan menimbulkan pemahaman yang salah sehingga menyesatkan (dalam jurnalistik dikenal sebagai misleading). Itulah yang sering terjadi pada berita HIV/AIDS. Selain karena berita HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sering pula terjadi berita yang tidak akurat.
Coba simak pernyataan ini: ’Penderita HIV/AIDS hingga akhir 2010 di Karawang, Jawa Barat, tercatat 244 orang. Sedangkan penularannya akibat heteroseks (WTS, Waria, LSL pelanggan dan pasangan pelanggan) ada 121 orang atau sama dengan 50% dari jumlah kasus yang ada.’ (Sosialisasi Resiko HIV/AIDS Untuk Penjaja Seks di Karawang, Pos Kota, 26/5-2011)
Penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bukan karena heteroseks (heteroseks adalah orientasi seks yaitu hubungan seksual antara laki-laki perempuan atau sebaliknya), tapi karena salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom.
Yang termasuk heteroseksual adalah hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Sedangkan hubungan seksual dengan waria bukan heteroseksual tapi seks anal atau seks oral. Sedangkan hubungan seksual dalam lelaki suka seks lelaki (LSL) adalah homoseksualitas.
Estimasi Kemenkes RI tahun 2009 menunjukkan di KabKarawang:PSK 1.061, Waria 70 dan LSL 3.966. Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memakai perspektif kesehatan masyarakat maka yang ditulis adalah relasi jumlah PSK dengan epidemi HIV. Pemaparan ini akan membuka mata masyarakat terkait dengan risiko tertular HIV.
Dalam satu malam saja sudah ada 3.183 (1.061 PSK x 3 pelanggan) laki-laki penduduk Karawang, asli atau pendatang, yang berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.
Tapi, karena HIV/AIDS selalu dilihat dengan kaca mata moral maka yang menjadi ’kambing hitam’ adalah PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami merekalah yang menularkan HIV kepada PSK atau tertular dari PSK. Sampai Maret 2011 sudah dilaporkan 213 kasus kumulatif HIV/AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/11/karawang-%E2%80%99digoyang%E2%80%99-aids/).
Menurut Wakil Bupati Karawang, dr. Cellica Nurachadiana, yang juga sebagai Ketua KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Karawang: ’ .... diperlukan upaya yang menunjang program penanggulangan HIV secara baik di Karawang dengan cara penggunaan kondom 100% bagi yang berprilaku resiko untuk menurunkan angka HIV dan AIDS yang terjadi sampai saat ini.”
Program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir di Thailandberhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual. Program ini tidak akan bisa berjalan di Kab Karawang. Apalagi dikabarkan ada Odha yang kembali menjadi PSK karena program pendampingan tidak jalan lagi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/15/ada-odha-yang-jadi-psk-di-kab-%E2%80%98goyang-karawang%E2%80%99-karawang/).
Pertama, program itu dijalankan di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir berizin sehingga germo memegang izin usaha resmi (tidak ada negara di dunia yang me-LEGAL-kan pelacuran, yang ada adalah membuat REGULASI yaitu melokalisir pelacuran). Di Kab Karawang tidak ada germo yang memegang izin usaha.
Kedua, sanksi diberikan kepada germo bukan PSK karena posisi tawar PSK sangat rendah ketika memaksa laki-laki memakai kondom. Bisanya laki-laki akan mencari PSK yang mau melayaninya tanpa kondom atau memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.
Ketiga, di Thailand program itu dipantau dengan cara yang konkret yaitu menjalankan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, klamidia, dll.) rutin terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi. Cara ini tidak akan bisa dijalankan di Kab Karawang karena tidak ada lokalisasi PSK dengan germo yang memegang izin.
Upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi di Kab Karawang dilakukan terhadap penjaja seksyaitu memberikan pemahaman tentang teknik negosiasi dan pemasangan kondom yang benar. Langkah ini tidak akan berhasil karena posisi tawar PSK yang sangat rendah.
Jika penanggulangan HIV/AIDS di Kab Karawang tidak dilakukan dengan cara-cara yang konkret, maka penyebaran HIV akan membuhkan hasil berupa ’panen AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H