Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Perda AIDS Kab Badung, Bali: Tidak Ada Mekanisme Pemantauan Pemakaian Kondom

3 Mei 2011   02:09 Diperbarui: 27 Mei 2018   23:26 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus demi kasus HIV/AIDS terdeteksi. Beberapa daerah terperangah dengan penemuan kasus. Reaksi pun muncul. Salah satu reaksi yang muncul adalah merancang peraturan daerah (Perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Rancangan perda-perda AIDS di Indonesia melirik keberhasilan Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Thailand menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokaliasi pelucara dan rumah bordir dengan skala nasional.

Celakanya, di Indonesia program itu hanya dicangkok dengan setengah hati. Akibatnya, perda-perda AIDS pun tidak bisa bekerja. Lihatlah Perda Kab Badung No 1 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS ini.

Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom.”

Pertama, dalam perda tidak ada penjelasan tentang ‘perilaku seksual berisiko’.

Kedua, di mana setiap orang wajib melakukan pencegahan?

Ketiga, kalau kewajiban berlaku di wilayah Kab Badung, maka penduduk bisa saja melakan perilaku berisiko tanpa terikat kewajiban memakai kondom di luar wilayah Kab Badung.

Keempat, dalam perda tidak ada penjelasan yang rinci tentang mekanisme pemantauan kewajiban memakai kondom.

Karena pemakaian kondom terinspirasi dari program di Thailand, maka pemantauan pun harus mengacu ke program tsb. Di Thailand program itu berhasil karena ada mekanisme pemantauan yang konkret. Germo atau mucikari diberikan izin usaha. Pada kurun waktu tertentu dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual) adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi berupa peringatan sampai pencabutan izin usaha.

Di Indonesia yang menerima sanksi justru PSK, seperti yang sudah dilakukan oleh Pemkab Merauke dan KPA Kab Merauke, Papua. Padahal, posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki bisa memaksa PSK meladeninya tanpa kondom dengan bantuan germo. Lagi pula 1 PSK ditahan, maka puluhan PSK (baru) akan menggantikan posisi PSK yang ditangkap. Lain halnya kalau izin usaha yang dicabut tentulah tidak otomatis ada germo baru karena harus mengusur izin usaha baru.

Di pasal 1 ayat 6 disebutkan: “Pencegahan adalah upaya memutus mata rantai penularan HIVdan AIDS di masyarakat, terutama kelompok berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV dan AIDS seperti pengguna narkoba jarum suntik, penjaja seks dan pelanggan atau pasangannya, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, warga binaan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, ibu yang telah terinfeksi HIV ke bayi yang dikandungnya, penerima darah, penerima organ atau jaringan tubuh donor.” Tidak ada kaitan yang konkret antara pasal 1 ayat 6 dan pasal 9.

Di Pasal 7 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan.” Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari. Lagi pula orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku sudah berjanji akan memutus penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Yang menjadi persoalan besar adalah penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Perda ini menggalang peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Di pasal 21 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS....”

Cara yang ditawarkan perda ini hanyalah sebatas mitos. Bahkan, pasal ini justru menodorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perbedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena huruf a dan b mengesankan Odha tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan keluarganya tidak mempunyai ketahanan.

Lagi pula, siapa, sih, yang berhak mengukut perilaku seseorang apakah sehat atau tidak? Apa pula ukuran yang dipakai? Sebarapa besar ukuran ‘hidup sehat’ dan ‘ketahanan keluarga’ yang bisa mencegah HIV?

Perda ini pun hanya copy-paste dari perda yang sudah ada. Tidak ada satu pun pasal yang manawarkan pencegahan dan penanggulangan HIV yang konkret. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun