Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perda AIDS Kota Samarinda: Menanggulangi AIDS dengan Tidak Melakukan Hubungan Seksual

4 Mei 2011   09:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak HIV diidentifikasi sebagai virus penyebab (kondisi) AIDS dunia medis sudah memberikan cara-cara pencegahan yang akurat. Tapi, karena HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama maka pencegahan pun tidak lagi bertumpu pada fakta medis.

Di Indonesia pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS justru dilakukan dengan perangkat hukum, disebut peraturan daerah (Perda). Celakanya, pasal-pasal di dalam perda itu tidak memberikan cara-cara pencegahan dan penanggulangan yang konkret.

Seperti Perda Kota Samarinda, Prov Kalimantan Timur, No 3 Tahun 2009 tanggal 3 Juni 2009 ini. Di pasal 1 ayat 19 disebutkan: “Pencegahan adalah upaya memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS pada masyarakat.”

Memutus mata rantai berarti harus ada dulu penduduk yang tertular HIV. Melalui orang-orang yang mengidap HIV itulah mata rantai penyebaran HIV diputus. Celakanya, tidak semua orang atau penduduk yang sudah mengidap HIV bisa dikenali dengan mata telanjang. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV.

Padahal, pencegahan adalah mencegah agar tidak ada lagi penduduk yang tertular HIV. Sayang dalam perda ini tidak ada satu pasal pun yang memberikan cara mencegah agar seseorang tidak tertular HIV.

Yang ada adalah penanggulangan, tapi lagi-lagi tidak realistis sehingga tentu saja tidak konkret. Di pasal 10 ayat 1 disebutkan: Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan dengan prinsip:

(a) Tidak melakukan hubungan seks. Ini tentu saja tidak akurat karena tidak semua hubungan seksual berisiko menularkan HIV. Lagi pula, siapa yang tidak boleh melakkan hubungan seks? Hubungan seksual adalah hak dasar manusia sebagai pemenuhan kebutuhan biologis. Lalu, apakah semua orang yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sudah tertular HIV?

(b) Bersikap saling setia dengan pasangan. Nah, kalau satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV tetap saja ada risiko penularan HIV kalau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Selain itu bisa saja sebelum satu pasangan saling setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan masing-masing. Bisa saja ada yang berkali-kali mempunyai pasangan yang juga saling setia. Ada laki-laki ‘hidung belang’ yang selalu setia dengan seorang pekerja seks komersial (PSK). Apakah ini tidak berisiko? Kalau bertolak dari huruf (b) ini maka tentu tidak ada risiko. Padahal, PSK itu adalah orang yang berisiko tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan (laki-laki).

(c) Cegah penularan dengan memakai Kondom. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari. Maka, kapan harus memakai kondom? Siapa yang harus memakai kondom?

(d) Jangan menggunakan narkoba suntik. Orang-orang yang menjalani operasi (pembedahan) memakai narkoba dengan suntikan sebagai obat anestesi. Apakah mereka berisiko tertular HIV? Risiko penularan HIV melalui narkoba bisa terjadi pada penyalahgunaan narkoba yang memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV. Kalau memakai narkoba suntik sendiri atau dengan jarum yang selalu steril maka tidak ada risiko penularan HIV.

Di pasal 12 ayat 1 disebutkan: “Setiap perempuan yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV bila ingin hamil, wajib mengikuti program untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, agar bayinya terhindar dari HIV.” Fakta menunjukkan banyak perempuan terutama istri yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dari suaminya. Fakta lain menunjukkan banyak perempuan terdeteksi HIV pada masa kehamilan. Lalu, bagaimana cara mendeteksi HIV pada perempuan? Sayang, dalam perda ini tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV pada perempuan, khususnya perempuan hamil,

Pada pasal 4 ayat b disebutkan: “Tujuan Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah pencegahan penularan HIV dan AIDS melalui hubungan seksual.”

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi pada perilaku yang berisiko yaitu: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di laur nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di laur nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), yaitu PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.

Celakanya, tidak ada satu pun pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom bagi penduduk yang perilakunya berisko terkait dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Padahal, di Kota Samarinda ada lokasi pelacuran (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/25/psk-di-kota-samarinda-kaltim-akan-dilokalisir-untuk-meredam-penyebaran-ims-dan-hivaids/).

Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkot Samarinda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Samarinda, asli atau pendatang, yang melakkan perilaku berisiko di wilayah Kota Samarinda atau di luar Kota Samarinda? Kasus HIV/AIDS di Kota Samarinda tercatat 728 sehingga “Kota Tepian” itu menempati peringkat pertama pengidap HIV tertinggi di Kaltim (http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/25/penyebaran-aids-di-kalimantan-timur/).

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV di Kota Samarinda dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada penyebaran HIV yang akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS jika tidak ditanggulangi dengan cara-cara yang konkret.

Celakanya, peran serta masyarakat yang diharapkan melakui perda ini pun hanya sebatas mitos (anggapan yang salah). Coba simak pasal 31 ayat 1: Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:

a. berperilaku hidup sehat.

Pertanyaannya adalah: (a) Apa yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat?, (b) Apa kaitan langsung antara perilaku hibup sehat dan penularan HIV? (c) Apa ukuran atau parameter perilaku hidup sehat yang bisa mencegah penularan HIV?

b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Pertanaannya adalah: (a) Apa alat ukur atau paremater ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV? (b) Siapa yang berkompeten mengakar ketahanan keluarga? (c) Apa kaitan langsung antara ketahanan keluarga dan penularan HIV?

Pasal 31 ayat 1 hurus a dan b ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap negatif) dan diskriminasi (perbedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mereka dianggap tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan ketahanan keluarganya tidak kuat.

Ya, lagi-lagi perda ini tidak lebih baik dari perda yang sudah ada karena hanya merupakan copy-paste dari perda lain. Perda AIDS Prov Kalimantan Timur pun tidak menawarkan cara-cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/).

Jika Kota Samarinda tetap menutup mata terhadap (praktek) pelacuran dan perilaku berisiko penduduk laki-laki, maka penyebaran HIV di kota ini akan terus terjadi. Pemkot Samarinda tinggal menunggu ‘panen’ ledakan AIDS. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun