Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Mengharamkan Dana APBD untuk Klub Sepak Bola

1 Mei 2011   08:50 Diperbarui: 3 Oktober 2022   07:44 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri ini memang aneh. Klub-klub sepak bola memproklamirkan diri sebagai klub profesional, tapi tetap ‘menetek’ ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Hampir semua klub sepak bola profesional yang bernaung di bawah ketiak PSSI menggantungkan diri pada dana dari APBD.

Klub-klub sepak bola itu ‘merampok’ hak rakyat al. untuk kesehatan (tidak semua daerah memberikan dukungan dana untuk pengobatan) dan pendidikan (tidak semua daerah menggratiskan pendidikan dasar).

Dikabarkan ada daerah yang menyalurkan 61 persen dana APBD untuk klub sepak bola (Mendagri Larang APBD Danai Klub Sepakbola, inilah.com, 29/4-2011). Ini keterlaluan karena yang dihasilkan klub-klub sepak bola itu hanya keonaran, kebringasan, radikalisme dan kriminalitas.

Sekarang kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi di semua daerah. Indonesia beruntung karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan AIDS dan pembelian obat antiretroviral (ARV). Dana APBD untuk penanggulangan AIDS di banyak daerah ternyata hanya sepersepuluh dari dana untuk klub sepak bola.

Kondisi akan runyam jika kelak donor asing menghentikan bantuan tentulah beban berat bagi daerah. Pemprov Sumatera Utara, misalnya, mengeluarkan dana Rp 19 miliar/tahun untuk membeli ARV bagi 444 Odha. Seorang Odha membutuhkan dana Rp 3,6 juta per bulan. (Waspada, 5/11-2009). Tiap daerah tinggal menghitung jumlah Odha dan mengalikannya dengan Rp 3,6 juta/tahun.

Celakanya, klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah PSSI sudah meraup dana APBD antara Rp 5 miliar – Rp 25 miliar setiap satu musim pertandingan.

Baca juga: Dana APBD: Antara Sepak Bola dan (Penanggulangan) AIDS

Disebutkan: “Pemerintah melarang penggunaan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk klub-klub sepak bola mulai 2012.” Ini kabar bagus karena melindungi masyarakat miskin dari pendzoliman yaitu penggunaan dana APBD untuk menggaji pemain asing di klub sepak bola.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan: "Ada yang klub sepak bola 98 persen dari total pembinaan pemuda dan olahraga.” Inilah yang membuat banyak cacang olah raga tidak bisa berbicara di kancah regional. Celakanya, sepak bola pun yang memakai dana pembinaan olah raga melalui APBD juga keok di kancah regional.

Maka, mulai tahun 2012 pemerintah melarang daerah kabupaten dan kota menggunakan dana APBD untuk mendanai klub sepak bola. Mendagri menegaskan: "Kita koreksi sekarang di 2012 tidak ada lagi dana untuk klub klub profesional dari APBD."

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sudah meminta agar Departemen Dalam Negeri menghentikan penyaluran dana APBD ke berbagai klub sepak bola profesional mulai tahun depan. Mengapa? KPK menemukan sejumlah penyelewengan. Hasil kajian terbaru KPK menemukan ada indikasi pelanggaran pengelolaan dana APBD untuk kegiatan sepak bola profesional, yang disebut berpotensi korupsi (KPK larang APBD untuk biayai bola, www.bbc.co.uk, 5/4-2011).

Dikabarkan: “Dari 15 klub Liga Super Indonesia, misalnya, baru empat yang bebas dari dana rakyat itu, yakni Arema, Persib Bandung, Pelita Jaya, dan Semen Padang.” Kondisi ini memalukan karena mengatakan diri sebagai klub profesional tapi ‘menadahkan’ tangan ke APBD.

Belakangan ada Arifin Panigoro yang memotori Liga Primer Indonsia (LPI) yang sama sekali tidak memakai dana APBD. Setiap klub yang ikut kompetisi LPI menerima dana miliaran rupiah.

Negeri ini memang konyol. Ada orang yang bisa memutar roda kompetisi tanpa mengganggu hak rakyat, bahkan memberikan kontribusi yang sangat besar kepada rakyat, justru dimusuhi oleh PSSI.

Komisi Normalisasi PSSI pun tidak menjadikan dana APBD sebaga isu sentral dalam memilih calon ketua umum dan wakil ketua umum PSSI. Hanya pasangan George Toisutta dan Arifin Panigoro yang menyinggung tentang kelemahan PSSI yang menggunakan dana APBD. Tapi, lagi-lagi ironis. Pasangan ini justru ditolak oleh FIFA.

Apakah PSSI tidak memberikan informasi yang akurat kepada ‘Mr’ FIFA tentang penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola di bawah PSSI?

Kalau PSSI tidak memberikan informasi yang akurat tentulah PSSI sudah melakukan kebohongan publik yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) karena inforamsi yang akurat merupakan hak rakyat (publik). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun