Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menguji Peran Perda AIDS Kabupaten dan Kota Tasikmalaya*

25 April 2011   09:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:25 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemkab Tasikmalaya dan Pemkot Tasikmalaya, keduanya di Prov Jawa Barat, akhirnya menjadi daerah ke-15 dan ke-23 dari 45 daerah di Nusantara yang mempunyai peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Kota Tasikmalaya sendiri masuk dalam daftar program akselerasi penanggulangan HIV/AIDS yang dikeluarkan Depkes RI. Apakah dua perda itu berhasil menanggulangi epidemi HIV?

Ketika kasus AIDS pertama terdeteksi di Indonesia (Bali, 1987) reaksi yang muncul justru penyangkalan. Berbagai kalangan, termasuk menteri kesehatan waktu itu,HIV/AIDS tidak akan masuk ke Indonesia karena masyarakat negeri ini berbudaya, bergama dan ber-Pancasila. Penyangkalan yang sama juga terjadi di Thailand ketika kasus HIV/AIDS terdeteksi di Negeri Gajah Putih itu. Peringatan dari pakar epidemiologi tidak digubris petinggi negeri itu.

Tapi, apa yang terjadi kemudian? Sepuluh tahun setelah diingatkan kasus HIV/AIDS di Thailand mendekati angka 1.000.0000. Devisa yang diterima negeri itu dari pariwisata hanya menyumbang 2/3 terhadap biaya penanggulangan HIV/AIDS langsung dan tidak langsung. Padahal, salah satu sumber devisa negeri itu justru dari pariwisata.

Tercepat di Asia

Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang khusus menangani AIDS), juga sudah mengingatkan Indonesia di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Melbourne, Australia, tentang percepatan penularan HIV di Indonesia terutama di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik. Peringatan itu bak ’anjing menggongong kafilah berlalu’. Tidak ada tanggapan positif dari pemerintah. Padahal, banyak pejabat yang menghadiri kongres itu dengan biaya pemerintah(Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).

Apa yang terjadi kemudian? Sepuluh tahun kemudian pertambahankasus HIV/AIDS di Indonesia tercepat di Asia. Kasus HIV/AIDS di wilayah Kabupaten dan Kota Tasikmalaya sudah dilaporkan 96 kasus, 24 di antaranya sudah meninggal. Ada 45 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sedang menjalani terapi. Selain itu ada pula 27 yang belum menjalani terapi.

Kasus itu tidak menggambarkan angka yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tetular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tetular). Tapi, pada kurun waktu itu penularn sudah (bisa) terjadi. Semua tanpa disadari. Fakta juga menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari.

Maka, cara-cara pencegahan yang ditawarkan perda-perda AIDS, termasuk Perda Kab Tasikmalaya No 4/2007 dan Perda Kota Tasikmalaya No 2/2008 yang mengatur pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.

Perda AIDS Kab Tasikmalaya menyebutkan: ”Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara meningkatkan iman dan taqwa” (pasal 6 ayat 2 huruf a). Bagaimana menakar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Siapa yang berhak menakarnya? Pasal ini pun jelas mendorong masyarakat untuk melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (pembedaan perlakuan terhadap sesama penduduk berdasarkan penyakit). Karena masyarakat menganggap orang-orang yang tertular HIV karena tidak mempunyai iman dan taqwa.

Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan iman dan taqwa karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Penularan terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama.

Maka, pencegahan yang ditawarkan pada pasal 6 ayat 2 huruf b: ”Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara tidak melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang sah....” tidak akurat. Penularan HIV terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, jajan, seks bebas, seks oral dan anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom).

Sedangkan pada Perda AIDS Kota Tasikmalaya tidak ada cara-cara pencegahan penularan yang akurat. Yang ada hanya pemutusan mata rantai penularan. Pada pasal 12 ayat a disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi pasangan seksulanya dengan melakukan upaya pencegahan dengan menggunakan kondom.” Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang ditulari.

Akar Persoalan

Penyebaran HIV antar penduduk secara horizontal terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Soalnya, seseorang yang sudah tetular HIV tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tetular). Pada kurun waktu itulah terjadi penularan tanpa disadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.

Siapa, sih, yang berisiko tertular HIV? Mereka adalah orang-orang yang perilakunya berisiko yaitu yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya atau di luar kabupaten dan kota serta di luar negeri.

Jika di antara penduduk Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya ada yang perilakunya berisiko meka merekalah yang menjadi mata rantai penyebaranHIV di Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istirnya (horizontal), pasangan seks lainnya atau PSK. Kalau seorang istri tertular HIV dari suaminya maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal). Yang tidak beristri akan menularkan HIV kapada pasanganya seksnya atau PSK.

Dua perda itu tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikamalaya karena dua perda itu tidak menyentuh akar persoalan, terutama yang terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dan menurunkan insiden kasus HIV baru di kalangan laki-laki dewasa, maka perlu ada pasal yang berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya atau di luar wilayah.”

Sedangkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui penduduk yang sudah mengidap HIV perlu ada pasal yang berbunyi: ”Setiap orang yang pernah atau sering melakukan hubugan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya atau di luar wilayah wajib menjalani tes HIV dengan konseling.”

Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. (*)

* Dimuat di Harian ”Radar Tasikmalaya”, 12 Januari 2009.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun